Dalam Kalbunya Hanya Sukacita dan Ketulusan

…terdapat 3 untaian pada urutan ke 21…

Syahdan, sekira setahunan setelah Gregor Johann Mendel menyampaikan kaidah genetik klasik yang waktu itu masih belum diakui dunia, maka pada tahun 1866 adalah John Langdon Down seorang dokter asal Inggris menemukan gambaran umum gejala keterbelakangan metal dan fisik pada manusia.

Butuh waktu lama untuk menelaah faktor-faktor penyebab kelainan pada manusia ini hingga tahun 1959, yang disimpulkan dan berlaku kesimpulannya hingga saat ini adalah adanya pertumbuhan untaian kromosom pada urutannya yang ke 21.

Dalam kondisi normal, setiap untaian kromosom berjumlah sepasang. Namun dalam kondisi abnormal, terdapat 3 untaian pada urutan ke 21 kromosom tersebut. Ketidaknormalan ini disebut trisomi-21 atau 3 pasang untaian kromosom pada urutan protein genetik ke 21.

Angka 21 dan 3 pun menginspirasi dunia agar umat manusia lebih peduli pada sindrom ini.

Temuan ilmiah dalam lingkup Biokimia tersebut lalu dihargai, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, melalui Organisasi Kesehatan dunia pun pada tahun 2007 menyatakan setiap tanggal 21-Maret adalah hari Down Syndrome atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan Sindrom Down, sedunia.

Kata ‘Down’ bukan berarti ‘turun’ atau ‘surut’ atau ‘tenggelam’, melainkan ‘Down’ karena sosok yang memberikan gambaran lengkap sindrom tersebut adalah dokter John Langdon Down.

Meski pertanyaan atas penyebab sindrom ini telah diketahui yakni kelainan untaian kromosom ke 21, namun pemicu kelainan tersebut masih dalam penelitian. Perkiraan penyebabnya pun beragam, yang berkisar pada proses pertumbuhan janin dalam rahim ibunya, semenjak pembuahan pertama terjadi, dimana sel spermatozoa bertemu dengan sel telur.

Namun, penyebab pastinya mulai apakah karena faktor genotip menurun dari kedua orang tuanya, hingga apakah karena kondisi fisik, jiwa, asupan gizi, paparan bahan kimia, gelombang elektromagnetik, radiasi nuklir dan lain sebagainya terhadap ibunda si pengidap Sindrom Down, masih dalam perdebatan dan penelitian ilmiah lanjutannya.

Karenanya, untuk saat ini hal yang dapat dilakukan guna menghadapi kenyataan bahwa Sindrom Down berada dalam kisaran 1 dalam setiap 1000 kelahiran per tahun, maka dalam perjalanannya kepedulian terhadap pengidap sindrom down menjadi langkah terencana dan menjadi ilmu pengetahuan tersendiri

Kuncinya ada pada kepedulian orang-orang terdekat dan berarti baginya, juga fasilitas terapi dan sekolah berkebutuhan khusus dengan kurikulum tersendiri, termasuk pengajarnya yang terlatih khusus guna menjembatani kebutuhannya agar tumbuh perbaikan kualitas hidupnya, kelak.

Setiap pengidap Sindrom Down adalah manusia unik, yang dari jarang terlahirkannya justru menjadikannya khusus. Dengan segala kekurangan fisik dan mental, penyandang Sindrom Down adalah anugerah bagi alam, pun sebagai pemacu meningkatkan kadar ilmu pengetahuan agar akal dan budi pekerti manusia tetaplah terasah.

Dalam perilakunya, pengidap Sindrom Down adalah unik. Sorot matanya begitu tajam, namun polos sama sekali tak terbersit niatan untuk menyakiti lawan tatap matanya sekalipun.

Riang tawa lugunya, menularkan kebahagiaan orang-orang disampingnya. Mata batinnya begitu tepat menebak siapa saja orang yang butuh rangkulan bersahabat nan hangat. Mereka selalu gembira bukan karena berlebihan untaian kromosom dalam sel genetiknya, melainkan karena dicintakan.

...selalu memandang kehidupan hanyalah sekedar permainan belaka...

The Peanut Butter Falcon (2019), berkisah tentang Zak, pria sebatangkara berusia 20-an tahun penyandang Sindrom Down yang mempunyai mimpi untuk menjadi pegulat, atas kekagumannya pada seorang pegulat profesional yang melegenda, The Salt Water Redneck julukannya.

Jalan hidupnya mempertemukannya dengan Tyler seorang pria penjala ikan yang hampir putus asa atas semua kegagalan hidupnya, yang malah dilampiaskannya dengan tindakan merugikan kepada sejawatnya.

Sejalan dengan itu, ditengah keduanya, hadir sosok Eleanor, seorang wanita perawat rumah jompo yang harus bertanggungjawab atas raibnya Zak yang meninggalkan rumah jompo tempatnya tinggal, demi mengejar mimpinya menjadi seorang pegulat.

Seorang pria yang dikaruniakan segala pandangan hidupnya adalah untuk bersukacita dan bersikap tulus kepada sesamanya. Seorang pria yang melarikan diri dari orang sekitar demi mencari jawaban atas kegagalan hidupnya. Seorang wanita yang atas rasa kemanusiaannya rela memikul tanggungjawab yang semestinya bukan menjadi bebannya.

Ketiganya bertemu!

Dua manusia, pria dan wanita yang terlahir normal kromosom genetiknya, namun berliku jalan hidupnya. Keduanya disangga oleh seorang pria yang kelebihan satu untaian protein dalam kromosom genetiknya, yang atas karunianya ini, selalu memandang kehidupan hanyalah sekedar permainan belaka

Film ini dikemas dalam alur drama dengan cara bertutur yang dibuat sedemikian rupa, sehingga pemirsanya tak sadar sedang dibawa dalam alam penyandang Sindrom Down yang tengah menatap dunia.

Dalam pandangan penulis, film ini kelak bakal mendapatkan penghargaan sebagai buah karya seni sinema, karena menanam pesan moral yang mengajak kita merenungkan bahwa Sindrom Down sebenarnya sebuah karunia

Selebihnya, dalam film ini, juaranya siapa lagi jika bukan Zack Gottsagen pemeran Zak yang dalam kenyataannya adalah seorang pengidap Sindrom Down.

Peran yang dilakoninya, mewakili bagaimana seorang pengidap Sindrom Down bertualang meraih mimpi-mimpinya dengan cara uniknya dalam memandang dunia.

Hanya saja, di Indonesia tak banyak studio pemutar film yang menyajikan film tentang hubungan sosial sosok penyandang Sindrom Down ini bagi calon pemirsa.

Genre drama yang menuturkan kisah-kisah yang asing ditelinga namun menginspirasi dan nyata, masih belum begitu terapresiasi oleh masyarakat Indonesia. Sementara, genre aksi laga, kemewahan dan horor mengerikan, masih menjadi juara peminatnya.

Lalu, bukankah setiap suguhan bagi mata penglihatan meski sekedar hiburan, bakal memengaruhi alam bawah sadar yang kelak menjadikannya kenyataan?

Akhir-akhir ini pun hampir teraih nyata, yakni; kekerasan dan kengerian.

Keras dan Ngeri. Dua kata yang tak bakal pernah hadir dalam kalbu Sindrom Down, kecuali sukacita dan ketulusan semata.

Poster The Peanut Butter Falcon (2019). Sumber - austinfilm.org



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Ide Dalam Sarung