Ide Dalam Sarung

...namun juga menjadi sosok pengambil keputusan...

Terbiasa Berpikir Hipotetis

Skripsi itu karya tulis yang menjabarkan proses penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa pun mahasiswi sebagai bagian dari unjuk penilaian akan perkembangan cara berpikir dan menyampaikan serta mempertahankan argumen, setelah sekian tahun menempuh ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi, sesuai dengan bidang keilmuan yang menjadi minat dan memenuhi bakatnya.

Kelak, seorang sarjana tak hanya memahami lebih detail akan ilmu yang dipelajari, namun juga menjadi sosok pengambil keputusan, yang mana setiap keputusan yang ditetapkan telah melalui tahap pembelajaran dalam proses penyusunan skripsi, yang di dalamnya juga terdapat metode pengambilan keputusan yang sesuai, melalui pendekatan uji hipotesa. Suatu metode uji yang dapat digunakan secara umum, melintasi antar banyak ilmu pengetahuan.

Dengan demikan, diharapkan seorang sarjana punya kelebihan dalam menetapkan suatu keputusan, hasil dari petualangan penelitian yang dilakukan oleh mereka selama menjadi mahasiswa, dalam bentuk penyusunan skripsi.

Banyak hasil penelitian dalam bentuk skripsi yang menjadi inspirasi bagi kalangan akademisi untuk berlanjut menjadi penelitian lanjutan, bahkan kelak terbit menjadi suatu jurnal yang terbit internasional, lalu menginspirasi dunia akan penelitian dan pengembangan lanjutan.

...mempertahankan gagasan yang diyakini olehnya...

Meraih Gagasan Orisinal

Jadi, dalam penyusunan suatu skripsi terdapat proses belajar dan mengajar antar mahasiswa dengan pembimbingnya, yang atas proses tersebut bisa memicu gagasan baru guna membuahkan inovasi penelitian yang berkelanjutan.

Apabila penyusunan skripsi menjadi tak wajib bagi mahasiswa yang hendak meraih sarjana strata satu, maka kudu terdapat kegiatan pengganti yang menjadi media mengungkap gagasan dan pengujian akan mempertahankan gagasan tersebut dalam cakupan ilmiah, yang terukur. Poin intinya adalah, bagaimana agar calon sarjana kelak telah terlatih menjadi sosok yang lebih tepat dalam mengambil keputusan, dalam kerangka mempertahankan gagasan yang diyakini olehnya.

Misal kegiatan pemagangan di lembaga-lembaga tempat kerja apakah berorientasi profit ataupun bukan, yang antara lembaga tersebut dengan perguruan tinggi tempat belajar si mahasiswa, telah terdapat kerjasama saling menguntungkan. Termasuk, lembaga tersebut berhak menguji gagasan si mahasiswa selama berkegiatan magang.

Jika demikian, maka pelan namun pasti, kelak nanti, pihak yang sangat diuntungkan adalah lembaga-lembaga yang menampung mahasiswa untuk melakukan magang dan menyampaikan gagasan.

...modal berupa pengetahuan guna bersaing dan berkembang.

Litbang Sebagai Penghasilan

Dalam abad ilmu pengetahuan (knowledge century) yang memicu revolusi industri 4.0 sekarang ini, maka ide itu sangatlah mahal. Lalu, ide cemerlang datangnya sangat memungkinkan terlahir dari alam pikiran anak-anak muda.

Lembaga-lembaga yang serius menguji dan menampung gagasan dari anak-anak muda itu, memiliki tabungan gagasan yang bisa diolah menjadi modal berupa pengetahuan guna bersaing dan berkembang.

Lalu, sekolah perguruan tinggi yang tak mewajibkan lagi skripsi bagaimana? Oh, kelak bisa jadi peluang bagi para pendidik, pengajar untuk mendapatkan inspirasi pengembangan suatu penelitian, bakal jauh berkurang.

Sementara, sebagai perguruan tinggi yang pasca reformasi 1998 tak lagi mendapat subsidi, maka kegiatan akademisi didalamnya berupa penelitian dan pengembangan, litbang, adalah sumber penghasilan. Apabila penelitian tak lagi berkembang, perguruan tinggi bakal melulu mengandalkan penghasilan berupa uang pangkal, uang kuliah dan uang sumbangan pembangunan semata.

...sarjana eksata yang memiliki bekal keahlian, sebagai tukang.

Makna Tersirat Atas Gelar Sarjana

Juga, ketiadaan skripsi bisa membawa cara berpikir dan mengambil keputusan yang bersifat umum bagi setiap sarjana. Dengan demikian, nama-nama gelar yang sejak semester I tahun 1993 tiada lagi sebutan Insiyur, Dokter, Doctorandus, Doctoranda, melainkan menyebut rinci bidang ilmu yang ditekuni semacam Sarjana Sains untuk Bachelor of Science, atau Sarjana Pertanian untuk Bachelor of Science in Agrotechnology. Atau, Sarjana Medis untuk Bachelor of Medical atau lebih dikenal sebagai Dokter.

Insinyur dan Dokter keduanya sarjana eksata yang memiliki bekal keahlian, sebagai tukang. Sementara, Doctorandus, Drs. bagi pria dan Doctoranda, Dra. bagi wanita, baik eksakta maupun non eksakta selain hukum, berupa gelar sarjana yang lebih terasah sebagai konseptor. Oleh karenanya di Eropa, gelar sarjana Drs. pun Dra. setara dengan strata Doctoral.

Sehingga, apabila penyusunan skripsi yang melatih calon sarjana mengajukan gagasan, meneliti dan membuktikan kebenaran akan gagasan unik sesuai bidang ilmu yang ditekuni tak lagi menjadi kewajiban bagi calon sarjana strata satu untuk menyandang gelar kesarjanaannya, maka nama-nama gelar yang spesifik juga tak bisa lagi disebutkan bersanding dengan nama-nama mereka.

Melainkan, kembali pada gelar-gelar sarjana yang bersifat umum, apakah Dokter, Insinyur, Doctorandus, Doctoranda dan satu spesifik unik yang khusus menekuni bidang keadilan dan pengadilan yakni Sarjana Hukum, yang pada masa kolonial disebut dengan gelar; Meester (Mr.).

...terasah sebagai konseptor berorientasi pada proses...

University Kudu Ada Skripsi

Juga, kelak apabila memang skripsi tak lagi kewajiban bagi mahasiswa tingkat akhir, maka perlu perbaikan akan makna skripsi di dalam kamus besar bahasa Indonesia yang hingga kini masih terbaca sebagai;

“Karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya.”

Berangkat dari ulasan tersebut di atas, hemat saya, maka bagi perguruan tinggi yang menyandan tatanan proses belajar dan mengajar berkarakter Universitas, maka skripsi tetaplah perlu menjadi suatu kewajiban bagi mahasiswa pun mahasiswi tingkat akhir sebelum berhasil meraih kesarjanaannya.

Sebaliknya skripsi bukan menjadi kewajiban bagi perguruan tinggi yang memiliki sistem belajar dan mengajar berkarakter Institut, Sekolah Tinggi termasuk Politeknik. Cukup pengajuan gagasan dan pembuktian serta mempertahankan akan gagasannya dihadapan dewan penguji yang terdiri dari kolaborasi kampus dengan lembaga tempat mereka melakukan pemagangan, baik lembaga resmi yang berorientasi profit pun non profit.

Jadi kelak bakal jelas, tipikal sarjana yang menuangkan gagasan hingga meneliti dan pembuktian melalui penyusunan skripsi, mereka yang terasah sebagai konseptor berorientasi pada proses, pengambil keputusan yang mengedepankan pembuktian ilmiah, selayaknya karakter Universitas.

Dengan, tipikal sarjana non skripsi, yang menitikberatkan hasil-hasil dari gagasan mereka melalui suatu karya dengan sentuhan keahlian, lebih pragmatis praktis, selayaknya karakter Institut, Sekolah Tinggi pun Politeknik.

Keduanya sama-sama penting, tinggal pihak pemerintah punya prioritas pembangunan dalam bidang apa, yang membutuhkan karakter berpikir dan bertindak dari para sarjana yang bagaimana. Lebih butuh konseptor atau praktisi.

Rencana 5, 10, 20-an tahun mendatang ini Indonesia mau dipoles seperti apa?... 

Misi Pendidikan Tinggi Selaras Visi

Pun, generasi muda tingkatan SMA pun sudah punya pandangan dan persiapan diri kelak bakal berminat untuk menekuni bidang ilmu pengetahuan apa dan sentuhan proses belajar serta mengajar dari perguruan tinggi pilihannya yang bagaimana. Lebih berorientasi konseptor sehingga mereka bakal punya kewajiban skripsi.

Atau, berorientasi praktisi sehingga mereka siap diuji oleh orang-orang penguji diluar kampus, yakni lembaga tempat mereka magang, mengasah keahlian.

Jadi dalam layar besar dunia pendidikan tinggi tanah air apakah perlu skripsi atau tidak, kembali pada selera pemerintah seperti apa? Rencana 5, 10, 20-an tahun mendatang ini Indonesia mau dipoles seperti apa?

Anak-anak muda yang  (dulu) seperti saya siap-siap saja mengikuti sistem yang hendak ditata. Jika tidak demikian, tahun ini tiada skripsi, nanti ganti menteri pendidikan, maka skripsi kudu wajib lagi.

Kan, bikin anak-anak muda kayak saya (dulu), bingung jadinya.

Kan, gak baik membiarkan banyak generasi muda terjerat kebingungan.

Terus, buat saya sekarang yang sudah berumur, kalo bingung? Ya tinggal buka sarung.

Penulis wisuda Sarjana Sains suatu Universitas bulan Oktober tahun 1993.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya