Sugeng Tindak Pak Yahya

...mendapat anugerah tanpa pernah disangka, berupa hidayah mampu membaca dan langsung memaknai Quran...

Fisikawan yang Mendapat Hidayah

Selama dua tahunan, kisaran akhir Agustus 1994 hingga Oktober 1996, saya pernah ikut numpang hidup, ngenger, sekaligus menimba ilmu pengetahuan, ngangsu kaweruh, kepada seorang Ustadz asal Pekalongan, Haji Abdul Mutholib Yahya, seorang pria keturunan Yaman, yang punya leluhur sudah beratus tahun tinggal di tanah Jawa, salah satunya adalah pelukis besar Indonesia, Raden Saleh.

Tinggal di rumah beliau yang luas nan asri alami di bilangan Jl. H. Najihun Margaguna Radio Dalam, nggak jauh dari pertigaan Jl. Haji Nawi, yang juga dikenal sebagai jalan Koes Plus, dengan jalan poros arah ke Pondok Indah-Lebak Bulus.

Pak Yahya, demikian saya memanggil beliau. Sebaliknya, beliau memanggil saya Yudi, nama kecil saya. Istri beliau bernama Layla, juga keturunan Timur Tengah. Sama dengan Pak Yahya, leluhur Bu Yahya juga telah menetap di tanah Jawa, sejak ratusan tahun lalu.

Bahkan, Pak Yahya sekeluarga mendapat gelar kehormatan bangsawan dari Kesultanan Jogjakarta, sehingga berhak mencantumkan nama Raden dalam nama-nama beliau, termasuk bagi kedua putra beliau berdua yang saya memanggilnya Mas Abbas dan adiknya, Idrus.

Pak Yahya, yang fasih bahasa Arab, Jawa, baik yang ngoko maupun kromo inggil, Inggris, Belanda, Cina dan tentunya Indonesia. Beliau pernah menempuh pendidikan jurusan Fisika di Institut Teknologi Bandung, lalu melanjutkan studi pada bidang yang sama di salah satu perguruan tinggi di Cina, pada awal hingga pertengahan tahun 1960-an.

Berbekal gelar sarjana Fisika, beliau meniti karier di sebuah perusahaan tambang minyak milik Belanda yang beroperasi di wilayah Asia, termasuk Indonesia.

Jelang akhir tahun 1960-an, Pak Yahya yang baru saja berkeluarga, hijrah dari Pekalongan ke Jakarta. Beberapa tahun sempat pula menyewa rumah, sebagaimana pasangan keluarga baru yang mengembara di kota besar, hingga akhirnya menetap di kawasan hunian paling selatan di Jakarta waktu itu, kawasan Margaguna. Sebuah kawasan yang memiliki kontur tanah tertinggi di Jakarta.

Tahun 1960-an hingga awal 1970-an, sama sekali belum ada jalan menuju poros Pondok Indah-Lebak Bulus.

Wilayah Pondok Indah masih hutan karet yang lebat, jalan menuju wilayah lebih selatan lagi, masih lewat Jl. Fatmawati yang melewati jalan kecil sepanjang Jl. H Nawi, setelah melalui poros jalan raya Radio Dalam.

Pak Yahya yang putra tokoh agama Islam, di Pekalongan, yang tentunya bisa membaca dan berbahasa Arab, baru pada kisaran pertengahan tahun 1980-an mendapat anugerah tanpa pernah disangka, berupa hidayah mampu membaca dan langsung memaknai Quran ketika mampir ke sebuah toko buku, saat mengantar Istri beliau sedang belanja di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Beberapa hari setelah pengalaman luar biasa yang unleashed the power of thinking, beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan multinasional bidang eksplorasi/eksploitasi minyak, lalu benar-benar meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk bersyiar Islam. Atas pilihan itu, Keluarga beliau pun sangat mendukung.

...salah satu minat saya, yaitu; Astronomi, ilmu perbintangan, alam semesta luar angkasa nan luas seolah tak bertepi.

Amanah Membaca dan Menyusun Risalah

Pertama saya mengenal Pak Yahya, saya menilai beliau sebagai sosok yang aneh.

Karena, banyak hal yang menjadi pemahaman baru bagi saya waktu itu, yang baru saja mendapat kesempatan untuk hidup dari kota kecil adem ayem ke ibukota yang panas dan sangat dinamis. Salah satunya adalah, tentang tumbuh maraknya pemuka-pemuka agama, ustadz-ustadz baru waktu itu yang mulai marak awal tahun 1990-an.

"Dasarnya apa ya mereka itu menyebar banyak informasi dalam mimbar-mimbar baik yang terbuka maupun di dalam masjid-masjid? Buku-buku acuan apa saja yang pernah mereka baca?" Begitu pernah beliau berpesan. Pesan itu pulalah yang kemudian menjadi inti dari pola ngangsu kaweruh yang saya jalani kepada beliau.

Suatu sore akhir pekan, sehabis sholat Ashar, seperti biasa kami mengobrol santai di teras rumah bagian dalam yang menghadap ke sebidang tanah halaman luas, menghampar rerumputan, satu pohon kelapa gading menjulang, beraneka pohon dan tanaman, berhias suara puluhan burung perkutut saling bersautan, berkualitas cengkok suara fals, sengau; "Kleiyoo ketequq...". Suatu cengkok suara perkutut yang merdu, prima, bukan sekedar cengkok perkutut standar; "Kuur ketekuk kuk kuukk...

Juga ada seekor burung beo, yang fasih mengucap dan menjawab Salam yang diulang-ulang; "Waalaikum Salaam, waalaikum salam!", serta meniru suara orang lagi jualan gemblong; "Gembloong... Gemblooongng... Gemblong”.

Tata letak halaman terbuka nan luas rumah Pak Yahya memang berada di dalam. Rumah beliau dari luar tampak sepi dan sekedar sepetak garasi. Tapi begitu masuk ke halaman rumah utama, tampak sangat teduh dan asri, sama sekali tak berasa sedang hidup di Jakarta, namun di kampung halaman.

Ya, sore itu sambil menikmati teh tubruk dalam poci, Pak Yahya bertanya kepada saya, apa minat saya selain menekuni pekerjaan. Pertanyaan itu saya jawab santai hampir sekenanya. Tapi, memang itu salah satu minat saya, yaitu; Astronomi, ilmu perbintangan, alam semesta luar angkasa nan luas seolah tak bertepi.

Lalu, topik bahasan kami pun sedikit mengulas tentang alam semesta, termasuk waktu itu saya sampaikan ada sebuah buku laris, fenomenal karya fisikawan bernama Stephen Hawking judulnya Brief History of Time, riwayat Sang Kala, demikian terjemahan bahasa Indonesianya.

Besok paginya, hari Senin, saya berangkat kerja di sebuah laboratorium uji di kawasan Cilandak. Seperti biasanya, saya naik metromini 72 jurusan Blok M-Haji Nawi, kemudian berjalan kaki menurun menuju pertigaan Jl. Fatmawati, menyebrang dan siap siaga menanti datangnya metromini S76 jurusan Blok M-Pasar Minggu, yang lewat sekitar 1/4 jam sekali.

Lalu, saya berdiri di dalam metromini yang hampir selalu penuh pas jam sibuk itu. Setelah sekitar 45 menit menempuh perjalanan menembus kemacetan, saya pun turun di seberang gedung Trakindo Utama. Jalan tol Cilandak poros Jakarta Outer Ring Road, JORR, baru saja dibangun waktu itu.

Begitu terus rutinitas saya naik metromini, hingga sebelum Maghrib saya pulang kembali ke rumah Pak Yahya. Kemudian, ketika saya masuk kamar tidur saya, ada pemandangan yang mengagetkan, yaitu tumpukan buku ensiklopedia alam semesta di atas meja belajar. Ada 12-an jilid buku besar-besar, lengkap berisi tulisan, foto dan gambar.

Setelah kami sholat Maghrib, lalu saya bertanya semua tumpukan buku tebal berjilid-jilid di atas meja belajar kamar saya itu dari mana dan punya siapa.

"Kamu pelajari saja isinya ya Yud. Hari Sabtu pagi kamu pas gak kerja nanti kita bahas intisarinya apa." Demikian jawab Pak Yahya.

"Ndak usah kamu pikir itu beli dari mana, di mana. Yang penting ada waktu luang kamu baca, catat intisarinya, Sabtu depan kita ngobrol lagi." Lanjut Pak Yahya menutup obrolan jelang Isya' waktu itu.

"Oh iya nanti kapan habis gajian, kamu beli buku Brief History of Time itu ya, yang versi bahasa Inggris saja, lebih mudah cerna. Terus kita bahas." Tambah Pak Yahya lagi memberi pesan tersirat bagi saya, bahwa duit gaji yang saya terima, sebaiknya disisihkan pula buat menambah pengetahuan. Bukan buat sekedar makan, jalan-jalan, sama pacaran.

...perihal keberadaan benda luar angkasa itu beserta fenomena yang tersirat pun tersirat dalam Quran.

Dapat Ilmu Tapi Selamat Tinggal Malam Minggu

Benar, hari Sabtu pagi sampai siang saya mengobrol dan berdiskusi lagi dengan Pak Yahya. Seperti biasa, di tempat favorit, terus ruang tamu yang menghadap halaman teduh asri menghijau, sambil duduk di kursi kayu Jati adat Betawi, bersanding cengkok-cengkok merdu suara burung perkutut.

Dari sekian banyak catatan intisari belasan buku ensiklopedia alam semesta jagat raya yang saya rangkum, rupanya Pak Yahya amat tertarik dengan keberadaan benda luar angkasa yang memiliki daya tarik dahsyat, yakni Black Hole, atau yang disebut dalam ensiklopedia itu sebagai Bintang Setan, mengacu sebutan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, bagi Black Hole.

"Oh itu benda luar angkasa yang keberadaannya menjelaskan fenomena tentang kiamat. Ada tersurat pada beberapa ayat dan surah dalam Quran. Sebentar Yud, kamu bantu saya nulis temuan ini." Tukas Pak Yahya.

Sigap Pak Yahya beranjak dari tempat duduk, lalu beliau buru-buru berjalan cepat menuju ruangan kerja pribadi yang bersebrangan dengan kamar tidur saya sekira 30-an meter jaraknya.

"Iki Yud, tulong kowe sing ngetik, aku sing dikte ungkoro sak ungkoro..." Bilang Pak Yahya pakai basa Jawa ngoko, "Ini Yud, tolong kamu yang ngetik, saya yang mendikte setiap kata-kata.", sambil menyerahkan sebuah mesin ketik jinjing, beberapa lembar kertas putih dan kertas karbon buat salinan.

Wah, saya nggak menyangka bakal mendapat tugas mendadak, mengetik suatu tulisan. Padahal janji beliau hanya ngobrol-ngobrol saja. Lah, tiba-tiba saya ketiban sampur jadi juru ketik.

Tapi karena sejak SD kelas IV saya seneng mengetik pake mesin ketik merek Remington punya kantor Bapak saya, ya saya pun senang-senang saja.

"Ini temuan kudu segera ditulis, nanti sore buat bahan kajian majelis Taklim... Kamu kudu ikut Yud.” Kata Pak Yahya memberi alasan.

Begitu baru dan pentingnya kata Bintang Setan, sehingga mendadak menjadi ide bagi Pak Yahya membuat tulisan singkat perihal keberadaan benda luar angkasa itu beserta fenomena yang tersirat pun tersirat dalam Quran.

Saya mencoba telaten dan tekun mengikuti rangkaian kata dan kalimat yang disampaikan Pak Yahya, agar menjadi tulisan yang bisa menjadi topik bahasan dalam ajang berbagi ilmu pengetahuan pada majelis Taklim yang dipimpinnya.

Pak Yahya, karakternya adalah periang, tangkas dalam menyampaikan gagasan pun alasan dan cepat tanggap dalam memaknai suatu bahasan. Tipikal karakter orang yang sangat cerdas.

Petang pun tiba, menjelang Mahhrib saya diajak Pak Yahya bertemu dengan kolega-koleganya dalam suatu majelis Taklim.

Saya diperkenalkan satu persatu dengan orang-orang dalam komunitas berbagi ilmi pengetahuan dalam bingkai Islam, yang kebanyakan usia para anggotanya terpaut belasan hingga dua puluhan tahun lebih tua dari usia saya waktu itu. Pak Yahya sendiri, waktu itu berusia sekitar usia saya sekarang, jelang tengah 50-an. 

Jadilah saya menikmati malam minggu berkutat dengan kajian ilmu berdasar telaahan dari banyak buku. Padahal di bioskop studio 21 Pondok Indah Mall sedang seru-serunya memutar film laga fenomenal, judulnya; Speed, waktu itu.

Komposisi klasik yang terdengar cerah memesona macam gubahan Vivaldi, Mozart dan Mendelssohn menjadi favorit Pak Yahya.

Gemar Musik Klasik dan Piawai Memetik Gitar

Sepulang dari majelis Taklim, jelang tengah malam, seringkali Pak Yahya memetik gitar klasik merek Yamaha, kesayangannya. Petikan-petikan kunci melodi gitar klasik gubahan Mendelson yang menjadi favorit Pak Yahya pun melantun syahdu, mengiring malam menuju peraduan.

Wawasan saya tentang musik klasik pun bertambah seiring topik bahasan dalam setiap obrolan ringan dengan Pak Yahya. Komposisi klasik yang terdengar cerah memesona macam gubahan Vivaldi, Mozart dan Mendelssohn menjadi favorit Pak Yahya.

Sedangkan karya-karya klasik yang melantun muram gelap Beethoven atau yang berirama gahar macam Tchaikovsky, juga irama dansa-dansi gubahan keluarga Strauss kurang menjadi minat beliau. Wajar, karena Pak Yahya memang tipikal pria cerdas, cekatan. Enerjik.

Sementara, musik populer yang diminati Pak Yahya adalah melodi dan lantunan lagu-lagu Queen. Karakter suara Freddie Mercury yang bening memekik tinggi, memang pas buat seorang Qori. Adapun untuk dangdut, maka lantunan vokal Evie Tamala yang syahdu mendayu menjadi favorit beliau.

Selain bermain gitar dikala senggang, Pak Yahya juga gemar bermain catur. Langkah pembuka kegemaran beliau adalah gaya Inggris. Bidak Kuda bagi Pak Yahya adalah buah catur yang menjadi andalan, karena sering membuat langkah tak tertebak.

Saya sering jadi korban keganasan langkah kuda andalan Pak Yahya. Jika sudah mematok langkah yang mengancam raja, ratu ster dan benteng secara bersamaan, maka beliau sambil terkekeh bilang; 

“Catur itu permainan culas Yud. Sama sekali nggak ada ketulusan di dalamnya.”

Kamu mbesok kalo hidup jangan kebanyakan gaya yo Yud...

Sparepart VW, Pasar Tradisional dan Srimulat

Hari minggu pagi sampai sore juga menjadi saat-saat seru bersama Pak Yahya. Saya sering diajak ikut serta mendampingi beliau mengisi acara-acara pengajian yang dilaksanakan di kediaman sebuah keluarga di wilayah Jakarta Selatan, seringkali yang hadir pengajian adalah ibu-ibu paruh baya.

Usai memberi ceramah dalam pengajian, habis sholat Duhur, menuju pulang, Pak Yahya biasanya mengajak saya ke pasar loak Taman Puring dengan mengendarai mobil Volks Wagen, VW model Kodok produksi tahun 1960-an.

Tujuannya? Tak lain adalah berburu suku cadang, spare part mobil VW yang telah masuk kategori langka karena diskontinyu. Pernah saya diajak lama muter-muter Taman Puring demi mendapatkan sebuah per baja kecil, sebuah suku cadang dalam mesin pembakar.

Pak Yahya memang pengkoleksi kendaraan VW. Ada tiga jenis kendaraan buatan Jerman ini yang menghuni garasi depan rumahnya, yakni VW Kodok, VW Combi dan VW Camat, semua memiliki kapasitas tenaga diatas 3000 cc, khas mobil-mobil buatan lama.

Pak Yahya dan Bu Yahya juga suka berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan di toko serba ada, melainkan pasar tradisional. Pernah saya diajak oleh beliau berdua berbelanja kebutuhan dapur di sebuah pasar tradisional Blok A Jakarta Selatan.

“Ada seninya Yud, belanja di pasar tradisional seperti ini, ada tawar menawar, harga juga relatif miring dibanding yang dijual di mol-mol. Lha lebih mahal wong ada biaya kenyamanan dan gaya hidup. Kamu mbesok kalo hidup jangan kebanyakan gaya yo Yud.” Begitu pesan Bu Yahya ke saya yang waktu itu masih membujang.

Baik Bu Yahya maupun Pak Yahya, jika lagi berkumpul bersama keluarga dalam suasana santai di rumah, memang suka melontarkan guyonan membolak-balik logika kata-kata ala grup Srimulat.

“Yud, nanti kalo kamu mau ngurus KTP di kelurahan Radio Dalam, pas disuruh cap sidik jari pastiin jangan sampai keliru sama jarinya Sidik.” Begitu mas Abbas putra sulung Pak Yahya pernah melontarkan guyonan.

Grup lawak legendaris ini memang favorit bagi keluarga Pak Yahya. Tiap ada acara reuni Srimulat di Indosiar, Pak Yahya sekeluarga termasuk para pembantu rumah tangga pun kerabat yang tengah bertandang, termasuk saya, selalu ngumpul di ruangan keluarga yang luas, dekat kamar tidur saya, buat tertawa riang, nonton bersama acara aneka ria Srimulat.

...begitu padat dan kaya dengan hal-hal baru yang membuka wawasan...

Cara Unik Bersikap Tulus

“Yud mari masuk ke ruang kerja saya, ini tak kasih tau buku yang berkualitas itu seperti apa.” Suatu hari di akhir pekan Pak Yahya memanggil saya yang lagi bersantai.

Sebuah ruang seukuran bangsa 4x6 meter, yang berbatasan dengan kamar tidur, yang di dalam ruangan kerja pribadi ini ada sebuah lemari kaca yang sangat lebar dan tingginya hampir mencapai tiga meter, berisi deretan rapi buku-buku tebal, mirip kitab suci semua.

Dari dalam ruangan ini pula sering terdengar lantunan suara Pak Yahya ketika sedang mengaji surah-surah Al Quran, pada pagi dan petang hari.

“Yud, coba kamu ambil satu, kamu buka itu buku, bisa baca apa nggak kamu?” Pak Yahya mempersilakan saya memungut satu buku dari dalam lemari itu.

Sebuah buku warna hijau tua saya ambil, lalu saya buka. Wah, saya belum bisa baca soalnya hurufnya huruf Arab gundul semua.

Waduh dereng saged maos buku niki, kula Pak.” Jawab saya kromo inggil, “Waduh belum bisa baca buku ini, saya Pak.”

Oh Hoo... Berarti kamu masih perlu pendampingan buat menggali ilmu, Yud. Makanya kamu kalo bantuin saya ngetik tulisan buat Taklim, jangan bosen, yang rajin.” Jelas Pak Yahya.

Rupanya Pak Yahya memberi ketulusan berbagi ilmu pengetahuan kepada saya, melalui penugasan saya sebagai juru ketik atas ide-ide tulisan berdasar telaahan atas kitab-kitab, buku-buku tebal, yang mengacu Quran dan Hadis tersebut.

Banyak hal tema yang menjadi bahan tulisan yang disajikan dalam majelis Taklim, pengajian maupun mimbar Jum’at.

Tema pun beragam. Bisa mencakup urusan sains, teknologi, sosial, hubungan keluarga, kepemimpinan, politik, ekonomi, keluarga, sejarah, keamanan dan pertahanan, yang semuanya dalam cakupan tak hanya nasional namun juga dunia.

Tak banyak halaman tulisan yang merangkum ide-ide Pak Yahya, sekitar dua hingga empat halaman saja. Namun, begitu padat dan kaya dengan hal-hal baru yang membuka wawasan, khususnya dalam perjalanan untuk berilmu pengetahuan agar meraih ikhtiar bertauhid.

Semua topik yang digali, melalui penelaahan dalam kitab-kitab tebal yang mengacu kitab suci dan hadis tersebut.

Apabila terdapat keperluan memperluas cakupan ilmu pengetahuan yang terkategorikan baru, dalam pengertian perlu tambahan wawasan acuan dalam bentuk tulisan, yang belum terakomodir dalam ratusan kitab dalam lemari besar itu, maka saatnya Pak Yahya bepergian untuk menelusuri kitab-kitab acuan yang belum ada di Indonesia.

“Yud, sesuk aku tak mlaku-mlaku tuku buku, dua minggu. Mengko kapan-kapan kowe kudu melu.” Demikian Pak Yahya pernah pamit, sebelum belanja buku-buku, “Yud, besok saya mau jalan-jalan beli buku, selama dua minggu. Nanti kapan-kapan kamu harus ikut.”

Waktu itu saya pikir belanja bukunya di kawasan Pasar Senen atau di Blok M. Tapi kok sampai dua minggu. Eh, ternyata beliau berburu buku-buku itu sampai ke negara-negara pusat budaya Islam, di wilayah timur tengah sana.

Bahkan, daun yang gugur berjatuhan pun tiada yang luput dari kehendak Tuhan.

Berpulang Menuju Raudlatul Jannah

Sepulang melanglang buana belanja buku-buku baru, biasanya saat mengobrol santai bersama keluarga, Pak Yahya menyampaikan beberapa pesan singkat tentang buku-buku yang didapatkan, lalu rencana untuk mempelajarinya sebagai acuan dalam menebar ilmu pengetahuan.

Tentu, sebagai juru ketik, saya kudu siap-siap pula mendapat tugas mendengarkan setiap ucapan kata Pak Yahya, yang menyusun rangkaian kalimat, berisi gagasan-gagasan, baik yang aktual pun inspiratif, yang hendak disampaikan kepada orang-orang yang hendak menimba ilmu pengetahuan kepada beliaunya.

Menjelang akhir tahun 1996, beberapa bulan sebelum Krisis Moneter, saya berpamitan dengan keluarga Pak Yahya. Bukan karena apa-apa namun karena laboratorium tempat saya bekerja telah berpindah tempat, puluhan kilometer di luar Jakarta.

Sempat saya beberapa minggu mencoba dari rumah Pak Yahya menuju tempat kerja, dalam sehari langsung pergi dan pulang.

Hasilnya? Saya pun tepar tak berdaya. Jaraknya kejauhan, perlu berganti kendaraan umum tiga hingga empat kali, untuk sekali jalan. Berarti waktu itu berganti angkutan umum bisa enam hingga delapan kali untuk sehari perjalanan.

Sempat beberapa bulan sekali, pas hari libur saya sowan bertemu Pak Yahya sekeluarga. Setelah itu menjadi jarang, karena penugasan saya dari tempat kerja, yang keliling Indonesia. Paling bertegur sapa dan mengobrol menimba ilmu pengetahuan dengan beliau, liwat telepon interlokal.

Bu Yahya telah berpulang terlebih dahulu pada kisaran pertengahan 1997. Kemudian Pak Yahya menyusul berpulang ke Rahmatullah, baru-baru ini, tahun 2022.

Selamat jalan Pak Yahya. Saya sangat bersyukur, bahwa dalam perjalanan hidup saya, pernah diberi kesempatan bersua dengan Pak Yahya beserta keluarga. Satu perjalanan hidup yang seringkali manusia tak pernah menyangka akan anugerah yang terlimpah.

Bahkan, daun yang gugur berjatuhan pun tiada yang luput dari kehendak Tuhan. InsyaAllah Pak Yahya dan Bu Yahya meraih husnul khatimah, mendapat kemuliaan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, kekal abadi dalam Raudlatul JannahNya.

Aamiin yaa Rabb.

Foto kisaran awal tahun 1995 setelah lebaran. Dari arah kiri ke kanan; Bu Yahya, saya, Pak Yahya, lalu Mbah Kakung dan Mbah Putri saya, yang sejak saya masih berusia setahun, saya ikut bersama beliau berdua.


Telaga Asih, 22 Juni 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ide Dalam Sarung