Perintah Suci

“… berjalan kaki menempuh jarak lebih dari 400 km dari Mekkah menuju Madinah…”

Hijrah

Berkisah tentang masa-masa awal perkembangan Islam sebagai agama samawi (langit), atas pematuhan terhadap pesan-pesan Ilahiyah yang disampaikan kepada nabi Muhammad pada masa awal kerasulan beliau, melalui perantara malaikat Jibril sang penyampai wahyu.

Berlatar belakang suasana tatanan sosial di kota Mekkah pada kisaran tahun 600 Masehi, dituturkan bagaimana nabi Muhammad beserta pengikutnya, kaum muslim, mendapat perlakuan zalim dari penguasa kota Mekkah dan sebagian besar masyarakatnya yang masih menyembah patung berhala.

Terdapat lebih dari 300 patung berhala yang menjadi tradisi disembah oleh masyarakat Mekkah waktu itu.

Perjuangan nabi Muhammad yang dibantu oleh kerabat, sahabat dan kaum muslim Mekkah untuk meyakinkan penduduk Mekkah, kaum Quraisy yang masih menyembah berhala, bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan memberikan pemahaman bahwa terdapat banyak kesalahan dalam berperilaku sosial, bukanlah urusan mudah.

Penistaan, penjarahan paksa atas harta benda, hingga genosida, diberlakukan bagi kaum muslim oleh petinggi kota Mekkah yang tak berkenan zona nyaman berketuhanan berhala dan bertatanan sosial jahiliahnya terusik.

Perlakuan zalim tersebut, menjadikan nabi Muhammad beserta puluhan pengikut beliau berhijrah, berjalan kaki menempuh jarak lebih dari 400 km dari Mekkah menuju Madinah, menembus terik matahari dan angin gurun pasir juga kejaran kaum Quraisy dan petinggi Mekkah.

Selamat di Madinah, nabi Muhammad beserta kaum muslim terus berdakwah, menjalankan perintah-perintah suci yang diterima sang nabi dalam bentuk pesan-pesan Ilahiyah, sehingga pengikut ajaran Islam semakin berkembang di kota ini.

Namun demikian, tetap petinggi kota Mekkah menganggap keberadaan nabi Muhammad, kaum muslim dan agama Islam yang didakwahkan adalah ancaman bagi perikehidupan mereka yang turun menurun, menyembah banyak berhala bertatanan hidup jahiliah. Mereka nyaman dengan jalan demikian.


“Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak.”

Badar

Hingga dua tahun setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, pertikaian antara dua kaum yang berbeda dalam memahami bagaimana seharusnya berketuhanan itu kian meruncing, hingga terjadilah perang pertama antara kaum muslim dengan kaum Quraisy Mekkah.

Pertempuran Badar meletus saat Ramadhan tanggal 17 tahun kedua Hijriah atau 13 Maret 624 Masehi.

Sebanyak 313 pasukan muslim, dilengkapi kavaleri sebanyak 2 ekor kuda dan 70 unta bakal berhadapan dengan 1000-an pasukan kaum Quraisy Mekkah yang dilengkapi ratusan kuda dan unta sebagai kavalerinya.

Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak. Dengan sedemikian kekurangan yang dimiliki, dianugerahkan kepemimpinan nabi Muhammad, didukung para sahabat, paman beliau Hamzah bin Abdul Mutholib dan sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, menjadikan pasukan muslim memenangkan pertempuran Badar.

Zulfiqar, pedang bermata dua milik Ali bin Abi Thalib, melegenda sejak itu.

Abu Jahal, sang pemimpin kaum Quraisy Mekkah tewas dalam pertempuran itu.

 

...tergoda untuk segera mengambil harta rampasan perang…”

Uhud

Kaum Quraisy dan petinggi Mekkah menyimpan dendam membara atas kekalahannya dalam perang Badar.

Setahun kemudian, 7 hari setelah Syawal tahun ketiga Hijriah atau 23 Maret 625 Masehi, meletus pertempuran Uhud.

Kali ini pasukan muslim berjumlah lebih dari 2 kali dibanding pertempuran Badar setahun sebelumnya, namun tetap bakal menghadapi pasukan Quraisy yang juga meningkat 3 kali dari tahun sebelumnya.

Dalam pertempuran Uhud ini, kaum muslim mendapatkan ujiannya yang menambah pengalaman dalam pertempurannya, yakni merasa menang sementara musuh masih menjalankan strateginya.

Pasukan yang seharusnya disiplin untuk tetap bertahan di bukit Uhud, tergoda untuk segera mengambil harta rampasan perang dari pasukan Quraisy yang seolah telah mundur.

Tak dinyana, sepasukan berkuda menyerang dari belakang garis pertahanan kaum muslim yang tak mampu dilindungi karena pasukan pemanah di bukit Uhud telah turun.

Akhir perang Uhud, memilukan dengan tewasnya Hamzah bin Abdul Mutholib, bahkan jasadnya dikoyak oleh wanita bernama Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan sang panglima pasukan Quraisy, yang menyimpan dendam kesumat atas kematian ayah dan saudara lelakinya dalam perang Badar ditangan Hamzah.

Kelak, Hindun yang diberi julukan wanita pemakan hati ini, menjadi pejuang muslimah kharismatik, bersama Abu Sufyan sang suami yang telah lebih dahulu bersyahadat untuk membantu perjuangan nabi Muhammad serta kaum muslim.

 

“… bertekad bulat untuk berjalan menuju ke Ka’bah yang bertempat di Mekkah…”

Haji

Atas niatan berdakwah yang istikamah, teguh pendirian, jumlah kaum muslim semakin meningkat di Madinah.

Niatan menjalankan ibadah haji di Mekkah guna melengkapi rukun kelima Islam, semakin mengukuhkan kaum muslim yang berada di Madinah untuk segera merealisasikannya.

Pada tahun keenam Hijriah, nabi Muhammad beserta kaum muslim pengikut beliau bertekad bulat untuk berjalan menuju ke Ka’bah yang bertempat di Mekkah demi menunaikan haji.

Namun demikian, kaum musyrik Mekkah yang meski telah kalah dalam perang parit / Khandaq setahun sebelumnya, tetap berupaya menghalang-halangi niatan kaum muslim Madinah untuk beribadah haji.

Dengan niatan damai karena hendak menjalankan ibadah suci, nabi Muhammad beserta sahabat kemudian berinisiatif untuk memilih jalan berdiplomasi dengan petinggi Quraisy Mekkah. 

 

“...perjanjian yang seolah merugikan kaum muslim ternyata justru mengembangkan dakwah Islam…”

Hudaibiyah

Kesepakatan diraih, dikemas dalam perjanjian Hudaibiyah, antara lain berisikan gencatan senjata selama 10 tahun antara kaum muslim Madinah dengan kaum musyrik Mekkah.

Menjadi berkah atas pandangan yang visioner dari seorang nabi, perjanjian yang seolah merugikan kaum muslim ternyata justru mengembangkan dakwah Islam ke seluruh jazirah arab hingga negeri kerajaan tetangga seperti di Mesir, Ethiopia, Persia bahkan ke negri-negri koloni Romawi di Afrika utara.

Bahkan seorang panglima perang kaum Quraisy yang sangat disegani, yakni Khalid bin Walid luluh hatinya demi menyimak dakwah demi dakwah yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabat, sehingga menetapkan hatinya untuk memeluk Islam.

 

“...dan kaum muslim menetapkan untuk menaklukkan Mekkah.”

Fathu Makkah

Hanya saja, perjanjian Hudaibiyah ini tak berjalan hingga waktu yang ditentukan.

Belum genap dua tahun perjanjian gencatan senjata dilakukan, pelanggaran dilakukan oleh sebagian orang kelompok Quraisy yang memanfaatkan perseteruan dua bani yang masing-masing bersekutu dengan kaum muslim dan kaum musyrik.

Pada suatu malam kelompok musyrik Quraisy tersebut melakukan pembantaian terhadap anggota bani, keturunan yang bersekutu dengan kaum muslim.

Karena pelanggaran ini, maka nabi Muhammad, para sahabat dan kaum muslim menetapkan untuk menaklukkan Mekkah.

Jumlah kaum muslim yang meningkat pesat selama dua tahun perjanjian Hudabiyah dijalankan, dari tadinya berjumlah 1400-an orang sebelum perjanjian tersebut, menjadi berkisar 10000-an orang, telah siap untuk menjalankan penaklukan yang dikenal dengan Fathu Makkah itu.

 

“...tanpa pertumpahan darah setetespun.”

Ka’bah

Tak pelak pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke 8 Hijriyah atau tahun 629 Masehi, semua petinggi dan penduduk kota Mekkah yang sebagian besar musyrik, bergetar hatinya demi melihat dan mendengar derap langkah penuh keteguhan hati dari sepuluhan ribu kaum muslim, sambil melantunkan takbir dan tahmid, menuju kota Mekkah,

Tak ada balatentara kaum musyrik Quraisy Mekkah sejak kekalahan mereka dalam perang Khandaq, ditambah tak bernyalinya penduduk kota itu, menjadikan penaklukan Mekkah ini berjalan tanpa pertumpahan darah setetespun.

Abu Sufyan petinggi Mekkah yang sangat disegani, yang telah bersyahadat saat perjanjian Hubadiyah disepakati, menjamin bahwa pasukan muslim pimpinan nabi Muhammad tak bakal melukai penduduk kota itu. Dia menyeru orang-orang musyrik jika meragukannya, agar berlindung di rumahnya.

Hindun sang istri Abu Sufyan yang pada hari itu tak setuju dengan tingkah laku sang suami, keesokan harinya memilih menjadi muslimah demi melihat sikap santun dan elegan para kaum muslim pimpinan nabi Muhammad saat menaklukkan Mekkah.

Pada hari penaklukan Mekkah ini, nabi Muhammad dan kaum muslimin meluluhlantakkan ketiga ratus enam puluh berhala yang terdapat baik di dalam maupun sekitar bagunan Ka’bah.

Ka’bah pun dibebaskan dari berbagai berhala dan satu-satunya bangunan peninggalan nabi Ibrahim, yang menjadi pusat arah beribadah kaum muslim dalam menjalankan kelima rukun Islam dan keenam rukun imannya.


“...kesabaran dan keteguhan hati untuk merubah prinsip dasar berketuhanan.”

Shalawat Nabi

Kemenangan kaum muslim menaklukkan Mekkah ini menjadi puncak titik balik kezaliman yang diterimanya beberapa tahun sebelumnya. Menjadi hikmah bertawakal kaum muslim sebagaimana diajarkan nabi Muhammad sebagai penerima perintah suci Ilahiah melalui malaikat Jibril.

Sekaligus memantapkan keyakinan bagi sisa-sisa kaum musyrik agar tak lagi menyembah berhala dan berperilaku jahiliyah, melainkan menyembah hanya satu Tuhan yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala, (Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi) serta mengindahkan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Sebuah kisah proses panjang yang membutuhkan kesabaran dan keteguhan hati untuk merubah prinsip dasar berketuhanan. Suatu sikap teladan yang memberi pengaruh nyata bagi manusia, hingga sekarang.

Semua itu menjadi anugerah pada jaman nabi Muhammad yang diingat dan diteladani hingga akhir waktu bagi alam semesta menjelang.

Sepadan bagi beliau mendapatkan gelar Shalallahu Alaihi Wassalam, yang bermakna ‘Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan shalawat dan salam kepadanya’.

Tak hanya doa, gelar tersebut juga ditetapkan sebagai KalamNya dalam Quran surah ke-33, Al-Ahzab ayat 56 yang bermakna; 

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”

 

“...untuk tak menampilkan sosok wajah, badan, bayangan hingga suara sang nabi…”

Karya Sinema Fenomenal

Film The Message, diproduksi tahun 1976. Bukan sebagai produksi Hollywood, melainkan kerjasama antara sineas barat yang disetujui oleh kalangan intelektual Islam akan keakuratan jalan ceritanya yang berbasis pada sejarah awal perkembangan Islam.

Sang sutradara, Mousthappa Akkad yang muslim, memang bercita-cita untuk membuat karya sinema tentang sejarah Islam yang sekaligus menjadi jembatan pemahamannya bagi dunia barat.

Film yang dibuat atas dukungan penuh pemerintah kerajaan Maroko dan Libya serta sejarawan universitas Mesir ini dibuat menjadi dua versi Inggris dan Arab.

Kecuali aktor dan aktris pemeran serta bahasa, maka tak ada perbedaan baik isi dialog, sudut gambar, sinematografi maupun tata suara musiknya. Sama persis keduanya.

Kedua versi film ini juga menghormati adat tradisi kalangan Islam, untuk tak menampilkan sosok wajah, badan, bayangan hingga suara sang nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, selama film dibuat dan tayangkan.

Demikian halnya beberapa kerabat beliau, seperti Ali bin Abi Thalib yang dalam film ini cukup ditampilkan ujung sang Zulfiqar, pedang bermata dua beliau yang legendaris.

 

“Beliau disambut begitu hangat dan gembira oleh kaum muslim…”

Rembulan Purnama

Film The Message ini saya tonton ketika saya masih duduk kelas 5 Sekolah Dasar tahun 1980, di bioskop bernama Ria Theater yang terletak di sebelah timur alun-alun kota Malang.

Memang cukup mengundang banyak pertanyaan tentang film ini, sejak gambarnya dipasang di halaman depan gedung bioskop dan dipromosikan di radio-radio swasta waktu itu.

Pertanyaan awal umum yang mengemuka adalah berkisar apakah sosok nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, ditampilkan.

Juga banyak yang mengira, bahwa sosok Antony Quinn sang pemeran Hamzah bin Abdul Mutholib, disangka sebagai sosok nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

Memang, waktu itu atmosfir dalam gedung bioskop selama film ini diputar berkesan serius, cenderung tegang.

Maklum, kebanyakan penonton larut dengan alur sejarah yang sangat serius, yakni berkembangnya suatu agama. Suatu film yang serius sekaligus menjadi bagian pengenalan jalannya sejarah perkembangan Islam.

Sebagai anak usia 10-an tahun menonton film ini, tentunya saya waktu itu lebih menunggu adegan laga, adegan peperangan.

Namun, ada satu adegan yang untuk ukuran kualitas gambar dan suara saat itu mampu menghayutkan suasana, rasa riang dan haru menjadi satu, membuat kerongkongan saya tercekat.

Yakni, adegan saat nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, menyusul rombongan hijrah kaum muslim yang lebih dulu tiba di Madinah.

Beliau disambut begitu hangat dan gembira oleh kaum muslim yang sangat menyayangi dan merindukan kehadirannya, sembari melantunkan syair;

“Thola’al badru ‘alaina,
Min tsaniyatil Wada’.
Wa jabasyukru ‘alayna,
Mada ‘a lillahida’.
Ayyuhal mab ‘tsufiynaa,
Ji’tabil amril mutha’.
Ji’ta syarratal Madinah,
Marhaban yaa khairada’...”

yang bermakna;

“Telah terbit rembulan purnama bagi kami, dari lembah Wada’,
Kita semua harus bersyukur, atas seruan adalah kepada Allah.
Wahai Nabi yang diutus kepada kita,
Datang dengan seruan untuk dipatuhi.
Engkau telah membawa kemuliaan di Madinah ini,
Selamat datang wahai penyeru terbaik ke jalan Allah...”

Bahkan, sampai sekarang saya pun terharu jika mendengar lantunan syair itu.

“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”

Rindu kami akan kehadiran dan teladanmu yaa Rasul.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Balada Si Cangkem Asbak