Menengahi Paham Bumi Bulat dan Bumi Datar - Menduga Bentuk Bumi Melalui Metrik FLRW

“Namun demikian, sistem dalam alam semesta berjalan begitu adil bagi manusia...”

Memilah Dogma, Memilih Paradigma, Membuktikan Hipotesa

Silang pendapat tentang bentuk Bumi yang sebenarnya apakah bulat atau datar memang masih mengemuka.

Tak hanya di dalam negeri, pertentangan argumen berdasarkan bukti-bukti foto luar angkasa, fakta tentang perbedaan iklim antara garis equator tropis dengan garis-garis lintang sub tropis di sisi utara dan selatan, analogi kapal laut yang tiba-tiba terlihat dari batas garis cakrawala samudera hingga dalil-dalil Dogmatis tentang bentuk Bumi, juga masih saling tarik dan semakin seru di luar negeri.

Wajar, karena manusia dengan anugerah akal pikiran dalam dirinya, justru membuat mereka menjadi kritis dan selalu bertanya. Setiap jawaban yang didapat, bakal memicu lebih banyak pertanyaan. Kemudian menggali pertanyaan baru itu lebih dalam, yang bisa menjadi koreksi ataukah memperkuat suatu jawaban awal. Atau bahkan bisa menemukan suatu fenomena baru yang belum pernah terduga, yang kemudian menjadi cakupan pengembangan ilmu pengetahuan yang baru.

Namun demikian, sistem dalam alam semesta berjalan begitu adil bagi manusia. Agar pencarian atas suatu jawaban melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan tak menjadi liar, yang justru mengancam kehidupan manusia, maka keberadaan Dogma menjadi penting.

Dogma, meski pada awalnya terpandang sebagai keharusan yang mengikat dan membatasi cara berpikir bebas bagi manusia, namun keberadaannya diakui sebagai penginspirasi manusia untuk mengaktualisasi pemikiran guna memperdalam pertanyaan.

Inspirasi yang muncul atas penelaahan terhadap Dogma, baik yang tersirat maupun tersurat, bakal memicu pemikiran-pemikiran yang menarik untuk diulas lebih lanjut, menjadi Paradigma.

Tak berhenti sebagai Paradigma saja, maka pemikiran-pemikiran yang telah mengelompok menjadi bahan telaahan berbagai ilmu pengetahuan, membuahkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih unik, spesifik dalam bentuk Hipotesa.

Riset pun dilakukan demi membuktikan suatu Hipotesa. Terdapat metode tersendiri untuk menguji suatu Hipotesa, apakah diterima ataukah tidak.

Keberterimaan ataupun sebaliknya atas suatu Hipotesa, bukanlah ternilai sebagai suatu keberhasilan ataupun kegagalan. Semua hasil Riset kemudian disampaikan dalam suatu forum ilmiah, baik pertemuan langsung maupun media korespondensi.

Dalam forum tersebut, terdapat momen berargumen antara pelaku Riset dengan para pemangku kepentingan tentang manfaat Riset.

“… manusia tak bakal pernah berhenti bertanya meski telah mendapat suatu jawaban. Kodrat menusia memang demikian.”

Tetap Bertanya, Meski Terjawab

Pembuktian sebuah Hipotesa dalam momen tersebut, apakah Hipotesa terbukti diterima ataukah tidak, tetap mendapat penghargaan. Menghargai upaya membuktikan Hipotesa melalui Riset, sebagai bagian komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

Hasil-hasil Riset yang mewakili suatu jawaban atas pertanyaan dalam bentuk Hipotesa, lalu menjadi rekaman yang terus berlaku. Hingga kelak digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan.

Bentuk Bumi juga demikian, masih memiliki ruang untuk menampung banyak pertanyaan atas jawaban awal, yang dipercaya semenjak kisaran abad ke 338 SM, Aristoteles sang filsuf Yunani mengemukakan Paradigma bahwa Bumi berbentuk bulat.

Lebih dari 1200 tahun kemudian, adalah Abu Rayhan al-Biruni seorang matematikawan yang jelang pertengahan abad ke-11 berhasil mengukur diameter dan keliling Bumi menggunakan alat ukur astronomi pada masanya, bernama Astrolobe. Kemudian angka-angka yang ditemukan melalui alat itu menjadi variabel dalam persamaan-persamaan Trigonometri yang dikuasai oleh sang ilmuwan muslim tersebut.

Bahkan, ketika waktu berjalan 10 abad kemudian, terbukti bahwa hasil perhitungan Abu Rayhan al-Biruni sangat mendekati hasil perhitungan yang diakui oleh Sistem Geodesi Dunia, World Geodetic System (WGS). Hasil perhitungan tersebut pun menjadi acuan baku sejak tahun 1984, yang dikenal sebagai WGS-84.

Namun tetap, manusia tak bakal pernah berhenti bertanya meski telah mendapat suatu jawaban. Kodrat menusia memang demikian. 

“...sebuah Hipotesa tetap harus dihormati, selama bisa membuktikan keberterimaan ataupun penolakan atas Hipotesa tersebut...

Bumi Datar, Punya Komunitas

Bahkan, Paradigma yang dikemukakan oleh Aristoteles yang lebih dari 12 abad kemudian menjadi Riset tersendiri oleh Abu Rayhan al-Biruni guna membuktikan Hipotesa bahwa Bumi berbentuk bulat, tetap belum bisa menjadi satu-satunya jawaban.

Parallax adalah nama samaran seorang penemu sekaligus penulis asal Inggris yang bernama Samuel Rowbotham. Pada tahun 1865, dia menerbitkan sebuah buku karya tulis, yang berdasar pada Dogma, mengulas bentuk Bumi dan dengan berani menyatakan bahwa Bumi tidaklah bulat. Zetetic Astronomy; Earth Not a Globe, demikian judul karya literasi itu.

Pengaruh pemikiran Samuel Rowbotham lalu berkembang hingga hampir seabad kemudian.

Hasilnya, pada tahun 1956, berdiri resmi sekelompok orang yang berpandangan bahwa bentuk Bumi adalah datar. Komunitas ini menamakan dirinya Flat Earth Society (FES), di Amerika Serikat.  

Dalam perkembangannya, ternyata keberadaan komunitas yang meyakini Bumi berbentuk datar itu, bukan dianggap sebagai sekumpulan orang-orang halu, bagi ilmuwan pun masyarakat awam yang meyakini bentuk Bumi adalah bulat.

Masyarakat Bumi datar punya alasan. Mereka punya Hipotesa tersendiri, yang berasal dari pemilihan satu Paradigma, hasil dari pemilahan suatu Dogma.

Demi menghormati kaidah berilmu pengetahuan dan menjauhi sikap saling mengolok, maka sebuah Hipotesa tetap harus dihormati, selama bisa membuktikan keberterimaan ataupun penolakan atas Hipotesa tersebut, melalui suatu Riset ilmiah yang bersifat terbuka. 

“… Hanya saja, dampak perang dingin bisa mencabik sebuah bangsa yang tadinya bersaudara...”

Dari Haru Biru Hingga Penemuan Baru

Dalam perjalanan sejarah, maka abad ke 20 berisi banyak catatan kisah nyata yang tergurat oleh tinta emas.

Dunia banyak mengalami perubahan pada abad 20, seperti runtuhnya sistem monarki yang sebelumnya mendominasi tatanan bernegara banyak bangsa. Kemudian, paham komunisme bertumbuh semakin cepat, beserta pengikutnya yang semakin banyak bahkan memengaruhi wajah politik dan sosial ekonomi dunia, sejak revolusi di Rusia.

Berkecamuknya dua kali perang yang melibatkan banyak negara, juga terjadi pada abad ke 20. Berawal dari sebuah perang besar di daratan Eropa. Sebuah perang yang berjuluk akhir dari segala perang berlangsung selama empat tahun, pada 1914 sampai 1918.

Dua puluh tahun kemudian, perang besar empat tahun itu berlanjut menjadi kobaran perang yang lebih mendunia, yang tak hanya berkecamuk di kawasan Eropa, namun juga Asia Pasifik.

Tak cukup mengalami mimpi buruk akibat dua kali perang besar, maka setelah kedua perang besar usai, dunia pun masih melanjutkan perang yang seolah tak kasatmata, jauh dari liputan berita, berupa kobaran perang dingin. Sebuah perang yang terjadi dan berjalan jauh lebih lama, sebagai akibat perseteruan dua ideologi, yakni komunisme dan kapitalisme.

Jika perang kasatmata berlangsung frontal, bisa terbaca jelas siapa pemenang siapa pecundang, maka perang tak kasatmata berlangsung diam-diam, sering terdengar sebagai rumor. Hanya saja, dampak perang dingin bisa mencabik sebuah bangsa yang tadinya bersaudara. Dampak perang dingin lebih berlarut lama, seolah tak kunjung usai dari generasi ke generasi.

Kedua perang besar pada abad 20 tersebut juga menuai kesadaran banyak bangsa yang tadinya dikuasai oleh bangsa lain yang lebih kuat, dalam bentuk penjajahan, menjadi lebih percaya diri untuk memerdekakan diri. Sebagai bangsa merdeka, membentuk negara yang berdaulat

Masih banyak catatan sejarah yang terjadi selama abad ke 20 yang membawa banyak perubahan dunia. Baik yang terbaca sebagai kejadian yang mengharu biru, maupun yang tercatat sebagai suvenir berupa penemuan-penemuan baru.

Termasuk, dalam hal perkembangan suatu ilmu pengetahuan. 

“Melainkan menjadi ilmu pengetahuan yang mengurusi fenomena alam tak kasatmata berukuran partikel hingga sub atom.”

Dunia Berubah, Fisika Berbenah

Adalah ilmu fisika yang sempat dianggap telah mati, ternyata hanya mati suri. Berawal dari peristiwa jatuhnya sebuah apel, telah menginspirasi seorang fisikawan asal Inggris untuk mengurai lebih dalam tentang fenomena Gravitasi.

Setelah Sir Isaac Newton, nama fisikawan itu, berhasil membangun pondasi mekanika klasik pada akhir abad ke 17, maka ilmu fisika telah banyak membantu manusia dalam meraih jawaban, atas banyak pertanyaan seputar fenomena fisika di Bumi, guna meraih solusi untuk berkehidupan sehari-hari.

Hampir lebih dua ratus tahun kemudian, ilmu fisika seolah menjadi nyaman dengan temuan mekanika klasik tersebut. Bahkan terlalu nyaman, hingga ilmu fisika hanya diam ditempat, tak pernah beranjak maju, seolah membiarkan manusia bergelut menerapkan azas mekanika klasik menjadi terapan praktis, tanpa pendalaman lebih lanjut.

Hingga perjalanan waktu hinggap ke tahun 1900, mendadak ilmu fisika mengalami revolusi melalui penemuan Foton, sebuah partikel elementer tak memiliki massa, yang mampu melaju konstan berkecepatan cahaya di dalam ruang vakum. Keberadaan Foton telah mengukuhkan cahaya memiliki sifat mendua, yakni sebagai partikel dan gelombang.

Sejak penemuan fenomenal tentang Foton oleh fisikawan Jerman, Max Planck pada awal abad 20 tersebut, maka ilmu fisika seolah terbangun dari tidur panjangnya, bangkit dari mati suri. Ilmu fisika berkembang, tak hanya mengurusi fenomena fisik dalam Bumi sebagaimana era mekanika klasik Newton. Melainkan menjadi ilmu pengetahuan yang mengurusi fenomena alam tak kasatmata berukuran partikel hingga sub atom.

Adanya fenomena alih energi melalui paket-paket kuanta dalam semesta sub atom, membuat keberadaan Foton tak hanya mengukuhkan sifat dualisme cahaya. Namun, Foton juga menjadi maskot dalam penjelasan adanya mekanika kuantum, serta menunjukkan fakta terdapatnya dualisme gelombang partikel dalam fenomena medan elektromagnet.

Melalui perkembangan ilmu fisika modern, maka abad 20 telah menjadi titik awal bagi manusia mulai mengumbar banyak pertanyaan, perihal apa yang terjadi dengan semesta mikro kosmis tak kasatmata di dalam sub atom, yang dalam perjalanan penelaahannya ternyata berkelindan dengan semesta makro kosmis kasat mata, dalam jagat raya planet dan bintang di angkasa.

“...bahwa didalam dimensi ruang dan waktu, terdapat Gravitasi yang memiliki struktur geometri unik.”

Metrik Relativitas Umum

Bagi fisikawan modern abad 20, maka kaidah mekanika klasik yang digagas oleh Sir Isaac Newton tetap mendapat tempat di atas podium kehormatan. Temuan tentang gaya Gravitasi pada abad 17 ditemukan juga berlaku dalam fenomena kuantum baik dalam semesta mikro kosmis maupun makro kosmis.

Melalui riset yang tekun dijalani oleh seorang Albert Einstein, maka pada tahun 1915 membuahkan suatu teori Relatifitas Umum, yang menyentuh aspek geometri Gravitasi.

Teori Relativitas Umum, sejauh ini menjadi acuan dalam mengurai banyak pertanyaan, guna menemukan jawaban tentang fenomena, khususnya di semesta makro kosmis. Sekaligus, teori tersebut membuktikan bahwa temuan Gravitasi dalam mekanika klasik, sangat berguna untuk menjelaskan, bahwa pada dimensi ruang dan waktu, terdapat Gravitasi yang memiliki struktur geometri unik.

Dalam teori Relativitas Umum, penjabaran keberadaan struktur geometri Gravitasi dalam dimensi ruang dan waktu tersebut, melalui suatu persamaan bernama Persamaan Medan Einstein. Persamaan tersebut memiliki Metrik, sebagai penjelasan terhadap ukuran dan bentuk geometri Gravitasi pada dimensi ruang dan waktu dalam teori tersebut.

Metrik dalam Persamaan Medan Einstein dikenal sebagai Metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker (FLRW).

Sebuah nama Metrik yang merujuk nama empat orang ilmuwan, yakni Alexandre Friedmann, Georges Lemaître, Howard Percy Robertson dan A. Geoffery Walker.

Meski tak bersamaan, perjalanan panjang proses perhitungan matematis mereka berempat pada kurun 1920 - 1930-an, telah memberi kontribusi penting pada Persamaan Medan Einstein.

Keberadaan Metrik FLRW menjadi model baku tentang kosmologi modern. Sejauh ini, Metrik tersebut menjadi tumpuan jawaban atas banyak pertanyaan tentang ukuran dan bentuk geometri Gravitasi pada setiap dimensi ruang dan waktu.

“... Kehadiran sebuah obyek yang masif, bakal menghasilkan medan Gravitasi yang membuat struktur geometri penyelimut dimensi ruang dan waktu, menjadi melengkung.”

Terbukti Setelah 100 Tahun

Sebagai pengembangan ilmu fisika modern, maka Persamaan Medan Einstein beserta Metrik FLRW-nya, telah berhasil menjelaskan fenomena tentang semesta makro kosmis yang selalu mengembang seragam ke arah yang sama, melalui garis edar ruang yang saling terhubung, namun tak sepenuhnya saling berhubungan.

Tak hanya itu, Persamaan Medan Einstein dalam teori Relativitas Umum juga menjelaskan Gravitasi sebagai distorsi dari dimensi ruang dan waktu, yang disebabkan oleh kehadiran materi atau energi. Kehadiran sebuah obyek yang masif, bakal menghasilkan medan Gravitasi yang membuat struktur geometri penyelimut dimensi ruang dan waktu, menjadi melengkung.

Berkisar seratus tahun sejak Einstein pertama kali mengemukakan pandangan bahwa Gravitasi juga hadir di alam semesta, maka pada 14 September 2015 melalui riset LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory) di Amerika Serikat, telah menangkap satu fenomena ‘kicauan angkasa’, berupa suara unik hasil tumbukan dua black hole di luar angkasa yang berjarak jutaan tahun cahaya dari Bumi.

Suara yang tadinya samar lalu terdengar semakin meninggi dari angkasa luar tersebut, diyakini oleh ilmuwan yang tergabung dalam riset LIGO, sebagai suara Gravitasi alam semesta yang pertama kali pernah terdengar.

Temuan pada abad 21 ini menjadi jawaban atas pertanyaan bahwa Gravitasi di luar angkasa, memang ada. Kehadiran Gravitasi yang membuat struktur geometri penyelimut dimensi ruang dan waktu berubah melengkung, menjadi biang kualitas suara unik ‘kicauan angkasa’ yang tertangkap LIGO.

“...hanya ada Satu alam semesta berbentuk unik, yang memiliki densitas, baik materi maupun radiasi didalamnya, yang selalu mengembang.”

Bola, Hiperbola, Datar

Dalam perhitungan metrik FLRW, maka penentuan bentuk geometri alam semesta tergantung pada konstanta lengkung (𝜿), yaitu;

  1. Jika 𝜿 = +1, berarti memiliki lengkungan positif konstan, maka bentuk geometri dalam dua dimensi adalah tertutup.
  2. Jika 𝜿 = -1, yang berarti lengkungan negatif konstan, maka bentuk geometri dalam dua dimensi adalah terbuka.
  3. Jika 𝜿 = 0, yang berarti tanpa lengkungan, maka bentuk geometri dalam dua dimensi adalah datar.

Ketiga model geometri tersebut adalah kemungkinan bentuk alam semesta yang memungkinkan, seiring dengan fenomena ruang makro kosmis alam semesta yang selalu mengembang seragam ke arah yang sama.

Rentang konstanta lengkung yang memungkinkan ketiga bentuk geometri alam semesta tersebut, melengkapi keberadaan densitas alam semesta (Ω) yang selalu turut mengembang. Baik densitas materi (Ωmat) maupun densitas radiasi (Ωrad).

Dengan kata lain, Ω = Ωmat + Ωrad

Sehingga, kemungkinan bentuk geometri satu alam semesta, adalah perpaduan antara Ωmat dan Ωrad dengan densitas konstanta lengkung (Ω𝜿). Dimana, keberadaan  Ω𝜿  memiliki keterkaitan antara densitas alam semesta dengan konstanta lengkung, yang memungkinkan bentuk geometri alam semesta itu sendiri.

Dengan demikian, Ω + Ωk = 1

Pengertian dari rumus yang juga disebut dengan Densitas Kritis tersebut adalah, bahwa hanya ada Satu alam semesta berbentuk unik, yang memiliki densitas, baik materi maupun radiasi didalamnya, yang selalu mengembang.

Memahami pengertian rumus tersebut, juga memperjelas bahwa baik densitas materi maupun radiasi, bakal lebih besar atau sama dengan nol, sejalan dengan alam semesta yang selalu mengembang. Sehingga Ωmat > 0 dan Ωrad > 0.

Sementara itu, densitas geometri alam semesta tak bisa lebih besar dari nol. Karena terdapat lengkungan konstan didalamnya. Sehingga Ω𝜿 < 0

Mengacu Densitas Kritis, apabila densitas geometri alam semesta lebih besar dari nol, maka berarti densitas materi dan radiasi dalam alam semesta bakal tak bisa mengembang.

Melalui batasan-batasan ketiga densitas alam semesta yang mengakomodir fakta bahwa alam semesta selalu mengembang, maka kemungkinan bentuk-bentuk alam semesta juga mempertimbangkan waktu awal terbentuknya alam semesta itu sendiri, yaitu ketika kondisi densitas materi alam semesta masih nol (Ω0).

Dengan mempertimbangkan Ω0, maka kemungkinan bentuk-bentuk alam semesta tak hanya mempertimbangkan densitas konstanta lengkung (Ω𝜿) semata. Namun juga mengakomodir densitas materi dalam alam semesta, sejak alam semesta itu pertama kali mulai mengembang, yaitu; Ω𝜿 < 0, sesuai dengan bentuk alam semesta yang melengkung positif, berbentuk Bola. Oleh karenanya, densitas materi alam semesta ketika masih nol adalah lebih besar dari nilai Densitas Kritis alam semesta, yaitu;

  1. Ω𝜿 < 0, sesuai dengan bentuk alam semesta yang melengkung positif, berbentuk Bola. Oleh karenanya, densitas materi alam semesta ketika masih nol adalah lebih besar dari nilai Densitas Kritis alam semesta, yakni Ω0 >1.
  2. Ω𝜿 > 0, sesuai dengan bentuk alam semesta yang melengkung negatif, berbentuk Hiperbola. Oleh karenanya, densitas materi alam semesta ketika masih nol adalah lebih kecil dari nilai Densitas Kritis alam semesta, yakni Ω0 <1.
  3. Ω𝜿 = 0, sesuai dengan bentuk alam semesta yang berbentuk Datar. Oleh karenanya, densitas materi alam semesta ketika masih nol adalah setara dengan nilai Densitas Kritis alam semesta, yakni Ω0 =1.

Tiga bentuk alam semesta mengacu ketiga parameter densitas. Foto sumber - Learn About the FLRW Metric and The Friedmann Equation, Physics Forums Insights.  

 “...yang menasbihkan Bumi sebagai pusat alam semesta.”

Renungan Bentuk Bumi

Berkaitan dengan ketiga kemungkinan bentuk alam semesta, yaitu Bola, Hiperbola dan Datar serta mempertimbangkan satu Dogma, bahwa perbuatan merusak Bumi adalah terlarang, karena Bumi hanyalah satu-satunya tempat terbaik di alam semesta bagi manusia dan makhluk hidup lainnya untuk bertempat tinggal dan berkembang, maka kesempatan untuk menduga kemungkinan bentuk Bumi apakah Bola, Hiperbola atau Datar, adalah Hipotesa yang diijinkan.

Termasuk kesempatan merevolusi ulang Paradigma lama bahwa Bumi adalah bagian dari tata surya, menjadi Hipotesa bahwa Bumi menjadi poros berotasinya bintang, galaksi, black hole, planet, satelit planet, serta semua benda di angkasa, yang menasbihkan Bumi sebagai pusat alam semesta.

Bentuk Bumi yang memiliki nilai densitas materi awal lebih kecil dari Densitas Kritis alam semesta, yakni Ω0 <1 atau berbentuk semesta terbuka, Hiperbola, menjadi dugaan kuat.

Dugaan tersebut, tak hanya menyentuh aspek geometri. Namun juga makna mendasar yang sangat penting bahwa kehadiran Bumi bagi alam semesta adalah lebih kecil dibanding sebuah Singularitas, keEsaan.

Ilustrasi bentuk bumi Hiperbola, yang berkelindan dengan keberadaan sistem Singulatitas dalam alam semesta, layak menjadi satu hipotesa.

“...0,0004 detik, menyebabkan inti Bumi menjadi panas, meluluhlantakkan semua materi di dalamnya, ...”

Hipotesa Sistem Bumi Berbentuk Hiperbola

Dalam bentuk Hiperbola, maka poros dataran Bumi adalah Tanah Suci (Holly Land), suatu wilayah sebagai tempat diturunkannya para manusia pilihan penebar Wahyu Ilahiah yang berada pada bagian tengah rasio 1.618, terhitung dari bentangan kedua sisi tepi lengkungan terbuka Hiperbola, yang sejajar vertikal dengan langit surga, heaven.

Lengkungan terbuka pada Bumi bergerak periodik sebesar 22/7 derajat terhadap poros horizontal, yang mengakibatkan adanya perbedaan iklim dan perubahan musim, di beberapa wilayah dalam Bumi.

Sisi bawah lengkungan terbuka Bumi berimpit dengan lengkungan terbuka alam Akhirat, yang memiliki waktu relatif harian dengan standar sehari sama dengan 1.000 tahun waktu Bumi.

Sehingga, selama selama 24 jam waktu bumi, maka waktu yang dibutuhkan untuk berotasi sebanyak 360o terhadap poros batas alam Akhirat, menjadi relatif sama ketika alam semesta yang terpusat di Bumi berotasi terhadap alam Akhirat. Yaitu selama 0.0004 detik.

Energi masif yang tercipta saat alam semesta berotasi melalui alam Akhirat dalam waktu yang relatif super cepat selama 0,0004 detik, menyebabkan inti Bumi menjadi panas, meluluhlantakkan semua materi di dalamnya, membentuk lava pijar.

Medan Gravitasi dalam Bumi dihasilkan oleh distorsi ruang dan waktu akibat kehadiran materi dan energi, yakni kehadiran alam semesta Bumi yang berimpit dengan alam Akhirat.

Hal tersebut sejalan dengan kaidah Relativitas Umum, bahwa kehadiran sebuah obyek yang masif, bakal menghasilkan medan Gravitasi yang membuat struktur geometri penyelimut dimensi ruang dan waktu, menjadi melengkung.

“...menunjukkan keberadaan sistem Singularitas...”

Bertumpu Pada Sistem Singularitas

Pola jenius hasil kreasi sistem Singularitas ini, dalam pandangan manusia seolah alam semesta adalah tak terhingga. Namun sebenarnya, ketika Singularitas menjalankan sistem alam semesta, maka ada pembatas dalam bentuk tertutup, yang terdapat satu inti di dalamnya. Satu inti alam semesta yang berupa himpitan alam semesta Bumi dengan alam Akhirat. Poros himpitan Bumi-Akhirat.

Makna Ω0 >1 sebagai pembatas satu alam semesta berbentuk Bola, mewakili keberadaan sistem Singularitas, yang memiliki Densitas Materi awal yang jauh melebihi Densitas Kritis alam semesta.

Rutinitas rotasi alam semesta terhadap poros himpitan Bumi-Akhirat, menghasilkan pola sinusoidal yang mewakili fenomena terciptanya kekekalan energi, hingga suatu saat nanti sistem Singularitas memutuskan untuk membuatnya berhenti.

Saat pola kekekalan energi dalam alam semesta Ω0 <1 berhenti, maka sistem Singularitas bakal menentukan siapa saja manusia yang berhak mendapat tempat di langit surga yang sangat nyaman tenteram.

Saat itu pula, sistem Singularitas juga menentukan siapa saja manusia yang harus tinggal di langit terendah, yang sangat tak nyaman. Karena menyala panas, akibat berimpitan dengan inti Bumi, lava pijar.

Pembaca yang budiman, semoga kita semua nanti berkesempatan berdiri di alam semesta Akhirat, pada bagian tertinggi langit yang sejajar vertikal dengan Tanah Suci, yakni surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.

Semoga pula, renungan ini bisa memperbaharui satu persepsi tentang bagaimana pola alam semesta bekerja.

Bahan bacaan menginspirasi tulisan;

1. Memilah Dogma: Quran Surah  ke-2, Al-Baqarah, ayat 22.

2. Memilih Paradigma: 

  • Cottier, Cody, February 23, 2021, What shape is the universe?, Astronomy.com.
  • Arman777, January9, 2018, Learn About the FLRW Metric and The Friedmann Equation, Physics Forums Insights. 

3. Menguji Hipotesa: 

  • Siegfried, Tom, October 4, 2015, Einstein’s genius changed science’s perception of gravity, ScienceNews.

Telaga Asih, 16 Juli 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Balada Si Cangkem Asbak