Like Dissolves Like

“Yes!“ Girang Yoga, mengepal telapak kanannya. Ia memang penikmat kopi.

Temaram lampu kamar, membias kekuningan. Lembut cahaya tampak agak kabur, seolah menyapa Pratiwi saat pelan-pelan membuka kedua matanya dari lelap semalaman. Sunyi, tenang, menjelang subuh yang suara adzan dari masjid sekira dua ratus langkah ke timur laut rumah, belumlah berkumandang.

Hawa dalam kamar terasa sejuk, sehabis hujan tengah malam. Sudah dua mingguan ini, cuaca begitu gerah, seolah air hujan enggan menerpa tanah, tega telah membiarkan permukaan bumi yang dalam diamnya, ia sangat merindukan basah rintik air.

Agak repot Pratiwi beringsut ke tepi ranjang. Dia duduk sebentar, menata suasana hati dan raga, menyambut pagi yang sebentar lagi segera tiba. Dibentangkannya kedua lengan tangannya, lalu menyatu mengarah ke atas. Pratiwi mengeliat hingga kedua pangkal lengan daster batik katun yang dikenakannya melorot hingga menyentuh ketiaknya. Lega, Pratiwi mengendurkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah rebah lebih dari enam jam.

Menghela nafas panjang, Pratiwi menatap Yoga, pria muda yang telah dua belas tahun menemaninya penuh sukacita.

“Masih terbuai mimpi panjang dia.” Tutur Pratiwi dalam hatinya. Dia menatap Yoga, pria yang telah memegang janji untuk menjadi suami sehidup seperjuangannya. Selama dua belas tahun berlayar dalam bahtera perkawinan, mengarungi samudera yang tak jarang ombak pun badai datang menerjang, mereka berdua telah dikaruniai dua orang putra dan seorang putri. Sejauh ini, pengembaraan Pratiwi dan Yoga di atas lautan asa dan cinta, terasa seindah-indahnya.

“Pa, bangun, sebentar lagi subuh.” Bisik Pratiwi agak mendekat wajah Yoga. Sebidang wajah yang jutaan ekspresi, rona dan aromanya, Pratiwi sudah sangat mengenal. 

“Pa …” Sekali lagi Pratiwi memanggil, kali ini tangan kirinya menyentuh bahu kiri Yoga. Diguncangnya lembut, berharap Yoga tersadar dari buaian mimpinya.

Oh… Mmm… Yah.” Yoga menggumam, masih tertutup kedua matanya. Ia masih enggan mimpi-mimpinya terjeda.

Yuk, bangun Pa … Tuh mesjidnya sudah bersuara.” Pratiwi berkata-kata pelan. Benar, suara masjid mengalun syahdu, menembus dinding kamar. Bait surah Ar-Rahman, “Fabiayyi Ala i Rabbikuma Tukadzdziban…”, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan, lembut terdengar.

Hhmm…” Gumam Yoga mengiring tarikan nafas. Serapan oksigen menambah kekuatan bagi Yoga untuk membuka kedua mata perlahan, lalu bangun dari rebahnya, duduk di atas kasur lateks tempat peraduan bersama Pratiwi, istrinya tersayang.

Ooaahmm…” Yoga menguap hebat. Rupanya oksigen yang memasuki tubuhnya, membuat pula tubuhnya terpicu meminta lebih banyak oksigen. Agar, terjadi proses oksidasi memecah molekul-molekul asupan serta gizi yang tersimpan dalam tubuh Yoga, menjadi energi baginya agar lebih terkesiap, mengusir segala lelah sehabis tubuh mengalami proses penghilangan racun, detoks, selama tertelap.

***

Pratiwi belum beranjak, masih terduduk di tepi peraduan. Tersenyum ia memandang tingkah sang suami. Teringat ia akan tingkah anak-anaknya saat bangun tidur. Mirip. Terbangun dari tidur, seringkali berlanjut dengan polah tingkah yang baik anak maupun dewasa, melakukan hal-hal yang sama.

Mengeliat, menguap, garuk-garuk perut, berdecap-decap, beberapa contohnya. Polah tingkah yang belum sepenuhnya manusia tersadar dari efek proses purgatori dalam tubuhnya, membuang jutaan senyawaan racun, mendaur ulang milyaran sel.

Hooaaaahhhmmm…” Masih belum puas tubuh Yoga meminta terstimulasi kehadiran oksigen. Yoga melakukannya dengan mulut terbuka menebar semua aroma dalam mulutnya yang selama enam jam-an lebih semua bakteri di dalamnya, baik aerob pun anaerob melakukan metabolisma mengeluarkan gas-gas yang beraroma tak nyaman. Meski, Yoga telah menggosok dan membersihkan sela-sela giginya menggunakan dental floss, sebelum ia menuju peraduan.

Tetap Pratiwi tak beranjak dari semua aroma yang tertebar dari dalam mulut suaminya. Pratiwi sungguh memaklumi. Betapa jiwa dan raganya telah menyatu dengan sang belahan jiwa. Bahwa, segala kekurangan, termasuk aroma sang belahan jiwa telah menjadi satu konstanta rumus mekanika cinta, yang sepenuhnya rela diterima bersanding dalam hatinya.

Hayuk, Pa… Sebentar lagi adzan. Mandi dulu.” Lembut Pratiwi meminta.

Yoga mengangguk pelan. Digaruk-garuk kulit kepalanya, sambil menggeleng-geleng cepat batang leher, kepalanya bergerak-gerak mengusir kantuk yang tersisa. Dipandanginya Pratiwi, wanita yang telah menemaninya dua belas tahun lebih, yang ia kenal pertama kali dalam satu unit kegiatan mahasiswa. Ikal rambut, tatap mata berbinar, kulit kuning langsat, satu gingsul menambah manis senyuman sang wanita yang memang menjadi idamannya.

Oh, selama dua belasan tahun ini pula, tahi lalat di ujung samping kiri bibir Pratiwi, selalu tersentuh oleh bibir Yoga. Begitu lembut bibir Pratiwi, serasa buah persik matang. Saling bercumbu, Yoga dan Pratiwi sering melakukannya, sebagai ungkapan kasih sayang saat terbakar gairah asmara bagi keduanya.

Yoga masih terduduk di atas peraduan. Sejenak ia memiringkan badannya ke kiri. Lalu, terdengar suara nyaring “Tooooth…!

Ah! Rupanya sisa proses detoks dalam tubuh Yoga semalaman telah menghasilkan gas-gas dalam pencernaan pula. Serasa lega Yoga berhasil membuang gas-gas yang mengandung senyawaan toksin, paduan sulfida, ammonia dan metana, dari dalam tubuhnya.

“Iya, Ma… Papa mandi dulu.” Tukas Yoga, kali ini ia benar-benar terlepas dari rasa malas yang menggelayut. Dia bergegas ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur tempat ia dan Pratiwi tak sekedar beristirahat. Namun juga saling bercerita, membangun impian dan harapan bersama, hingga mengungkap kasih sayang. Malam tadi, setelah anak-anak terlelap, Yoga dan Pratiwi tiada kuasa menahan hasrat bercinta. Subuh inipun, keduanya hendak mensucikan jiwa dan raga, sebelum bersujud padaNya.

***

“Pa, lutut kanan Mama masih terasa kaku, tak bisa lekas ditekuk. Sholatnya pelan-pelan ya.” Pinta Pratiwi pada Yoga sang imam. Agung, Gilang dan Prita, ketiga anak mereka yang masih sekolah dasar, telah turut pula bersiap mengikuti gerak, lantunan ayat dan doa sang imam dalam menjalani sholat subuh.

“Iya Ma, nanti jam sepuluh kita ke klinik yah.” Singkat Yoga menjawab, tak mau kehilangan waktu subuh, karena waktu syuruq, mulai berpendarnya cahaya lembayung di ufuk timur akan tiba.

Dua raka’at telah dijalani oleh Yoga sekeluarga dengan khidmat, penuh rasa berserah diri padaNya. Ya, berserah diri akan segala apa yang telah menjadi kehendakNya, sambil selalu berikhtiyar, menjalani apa-apa saja sejauh pemahaman dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, agar setiap kehendakNya senantiasa termaknai sebagai anugerah, diterima penuh kebersyukuran.

“Mungkin asam urat itu Ma?” Tanya Yoga yang hendak meminum kopi tubruk hangat di hadapannya yang bersanding sepotong roti tawar. Baru saja ia tiba dari mengantar ketiga putra-putrinya ke sekolah yang dua kilometeran dari rumah.

“Iya, mungkin juga. Sudah lima harian ini, terasa kaku, ngilu malah.” Pratiwi menjawab, secangkir teh yang tak begitu manis ia bawa, mendekat tempat duduk, berdampingan dengan Yoga.

“Baru kali ini ya rasanya Ma?”

He em, mungkin karena usia?” Pratiwi balik bertanya. Teh hangat segar sempat membuat ngilu lutut kanannya buyar seketika.

Nggak juga lah Ma. Emang umur berapa?”

Ih nanya!” Agak sewot Pratiwi. Hari lahirnya terlupakan.

Becanda. Karena makanan mungkin?” Jelas Yoga sambil bertanya. Roti tawar digigitnya, kopi hangat diminumnya. Tanpa dua hidangan ini, Yoga bakal bad mood seharian.

“Baca internet mungkin juga si. Perasaan Mama ga makan aneh-aneh.”

“Jerohan juga mana Mama pernah?”

“Gorengan juga jarang. Paling pas diajak ketemuan teman-teman Mama. Atau pas arisan. Itupun teman Mama yang goreng sendiri, gak beli di lapak pinggir jalan.” Agak panjang Pratiwi memberi penjelasan. Seteguk teh hangat membasahi pita suaranya.

Cuman bener rasanya ga enak banget. Kaku, linu… Ih” Pratiwi mengeluh lirih.

“Ya nanti dokter yang bisa diagnosa.”

“Mudah-mudahan karena kurang exercise aja. Kurang gerak. Kalo gitu nanti solusinya ya kita jalan-jalan.” Imbuh Yoga. Diambilnya sepotong roti tawar lagi. Kopi masih ada seperempat cangkir, masih cukup buat memadu cita rasa gandum dengan kafein yang memang bikin ketagihan.

“Atau berenang.” Tukas Pratiwi yang bisa menangkap peluang solusi masalah, apabila terpicu gagasan orang disampingnya.

“Nah.” Ctk! Telunjuk dan ibu jari kanan Yoga beradu, pertanda setuju.

***

Aroma antiseptik dan obat farmasi tercium dalam ruangan tak begitu luas, namun cukup untuk menampung satu hingga tiga orang dewasa yang hendak berkonsultasi kesehatan. Sekira 4 x 4 meter persegi, dengan dipan tempat periksa yang dibatasi oleh kelambu jika diagnosa maupun tindakan medis terhadap pasien dilakukan. Beberapa gambar tentang anatomi manusia terpajang di dinding. Di sudut kiri meja konsultasi terdapat buku cetak yang tebal.

“Dari tes alat portable tadi, kandungan purin Bu Tiwi tinggi ya.” Jelas Alif, pria paruh baya, seorang dokter umum pada klinik keluarga yang telah menjadi langganan Yoga dan Pratiwi.

Selain lokasi yang dekat dengan rumah, dokter-dokter tenaga medis yang bekerja di klinik keluarga ini, tak pelit ilmu dan selalu mengupayakan pengobatan dengan pemberian resep farmasi yang bertahap, tak langsung resep obat farmasi antibiotik kadar tinggi, misalnya.

Namun, dimulai dengan antibiotik kadar rendah, agar tubuh tak terlalu terpicu imunitasnya yang justru membuat zat renik parasit mengalami resistensi, meningkat kesaktiannya,menjadi makhluk jahat yang susah mati.

Lagi pula, obat yang menjadi resep adalah obat-obatan jenis farmasi generik, bukan obat merk paten, sehingga harga beli relatif terjangkau. Cocok bagi Yoga dan Pratiwi yang punya visi dan misi dalam mengelola keuangan keluarga dengan seefisien dan seefektif mungkin, fokus pada kebutuhan bukan keinginan.

“Tujuh belas melebihi kandungan purin yang diijinkan bagi wanita, sebelas.“ Tambah Alif.

“Bisa tinggi gitu purin, penyebabnya apa Pak dokter?“ Tanya Pratiwi. Mimik wajahnya serius, merasa selama ini gaya hidupnya telah memenuhi tatanan aman lagi sehat.

Mmm… Kalo untuk laki-laki kandungan purin minimal berapa dok? “ Sergah Yoga memotong pertanyaan sang istri.

Pratiwi sontak menoleh memandang Yoga. Tak nyaman pertanyaannya direbut suaminya. Dokter Alif paham dan memaklumi pasangan suami istri di hadapannya, karena pengetahuan purin dalam tubuh manusia dan pemicunya masih belum terlalu umum dan luas.

“Jadi begini Bu Tiwi, sementara ini yang umum diketahui, purin itu pemicu asam urat.“ Alif bijak memilih untuk menjawab pertanyaan Pratiwi.

“Sebetulnya purin itu punya manfaat sebagai penunjang metabolisme dalam tubuh.“

“Hanya saja, apabila kandungannya terlalu tinggi dalam tubuh, bisa menyebabkan purin teroksidasi menjadi asam urat yang lalu menumpuk di persendian-persendian. “ Alif berhenti sejenak, memandangi Pratiwi juga Yoga.

“Efeknya?... “ Lanjut Alif, setelah tiada pertanyaan yang diajukan Pratiwi pun Yoga.

“…Rasa kaku, linu, ngilu di bagian-bagian persendian, termasuk jari-jemari…“

“Itu yang lalu dirasakan oleh Bu Tiwi sekarang ini.“ Alif lalu diam, menunggu respon Pratiwi dan Yoga.

“Teroksidasi itu bagaimana Pak Dokter?“ Pratiwi mulai bertanya, sambil melirik melihat gestur Yoga, apakah hendak memotong pertanyaannya.

“Teroksidasi ya terbakar.“ Singkat Alif menjawab.

“Terbakar gimana dok?“ Giliran Yoga bertanya.

“Terbakar karena metabolisme. Proses reaksi dengan oksigen yang punya sifat pembakar, oksidan. Oleh karenanya makhluk hidup butuh oksigen biar terjadi metabolisme dalam tubuhnya.“ Alif berhenti lagi. Dipandangnya Pratiwi dan Yoga yang tampak laksana spons yang tengah menyerap air.  Spons itu pikiran mereka, air itu pengetahuan baru bagi mereka.

“Sebentar dok. Oksigen itu punya sifat oksidan pembakar kan?“ Rasa penasaran Yoga terpicu.

“Persis.“

“Terus, atmosfer bumi mengandung oksigen.“

“Yup.“

“Lantas, kenapa seisi bumi gak terbakar, dok?“

“Kritis anda, seneng saya.“ Alif memuji Yoga. Sempat dilihatnya, Pratiwi memegang tangan Yoga, mengingatkan.

 “Ngga papa Bu Tiwi. Jadi kenapa bumi tak kebakar meski ada kandungan oksigen dalam atmosfirnya, itu karena kandungan oksigen jauh lebih kecil dari nitrogen.“

Yoga masih terdiam, kedua matanya membulat ingin segera tahu kelanjutannya.

“Dalam atmosfir bumi, kandungan oksigen itu hanya dua puluh satu persen.“ Lanjut Alif.

“Sementara, nitrogen kandungannya tujuh delapan persen. Gas argon dan lainnya hanya satu persen.“                     

Yoga menghela nafas. Nalarnya mencoba merangkai keterkaitan antara keberadaan oksigen yang oksidan tak menimbulkan efek kebakaran hebat bagi bumi.

“Kecuali...“ Alif mengacungkan telunjuk kanan, membuka lagi bahasan.

“Kecuali, tiada lagi sumber nitrogen dalam bumi. Apa itu?“

Yoga terkesiap dalam diam. Pratiwi hanya terdiam memandang dua pria saling diskusi. Sabar ia menanti saat tepat bertanya apa hubungannya semua ini dengan kaku linu yang mendera lutut kanannya.

“Itu adalah flora, tanaman, pepohonan dedaunan, hutan dalam bumi. Semua itu sumber berlimpahnya nitrogen dalam bumi.“ Panjang lebar Alif menjawab pertanyaannya sendiri.

“Tanpa hutan, bumi menghangat.“ Yoga mencoba menyimpulkan.

“Persis!“ Sergah Alif. Jari telunjuk kanannya mengarah meja. Bersandar dia di tempat duduknya.

***

“Maaf Pak dokter. Hubungannya hutan, bumi, oksigen sama kaku linu lutut kanan saya, gimana ya?“ Agak gemas Pratiwi menahan kesabaran, demi melihat dan mendengar dua pria tengah membahas hal yang mereka minati.

“Oh iya Bu Tiwi. Rasa kaku linu yang anda keluhkan, itu symptom, pertanda bahwa asam urat telah terbentuk, di sendi, lutut kanan anda.“ Tukas Alif.

“Purin sudah terbakar oleh oksigen gitu ya Pak Dokter?“ Giliran Pratiwi terpicu rasa penasaran.

“Persis!“ Tukas Alif.

Gak ada nitrogen-nitrogennya gitu?“ Pratiwi mencoba menganalisa.

“Ya ndak ada Bu, nitrogen gak dibutuhkan pas metabolisme. Nitrogen ambil peran dalam atmosfir bumi, biar tetep nyaman ditinggali.“ Alif berkilah menggunakan logika kimia yang dipahaminya.

Lha terus, ngatasin asam urat dalam sendi lutut istri saya gimana dok?“ Yoga mulai ikut gak sabar menanti solusi.

Alif tak segera menjawab. Diraihnya buku cetak tebal di sisi kiri meja kerjanya. Dibukanya buku tebal itu, dibuka-buka lagi lembar demi lembar halaman di dalamnya. Hingga ia berhenti pada satu halaman yang ia cari.

“Ini, coba Pak Yoga, Bu Tiwi pirsani struktur Purin. Ini buku namanya Farmakope, kitab sucinya orang-orang kimia farmasi.“ Alif menunjuk gambar berisi struktur kimia purin dalam satu halaman buku tebal itu. Yoga dan Pratiwi menarik tempat duduk mereka masing-masing, mendekati meja Alif. Lalu kedua wajah mereka mendekati gambar itu.

“Nah, lalu bandingkan dengan struktur uric acid, asam urat ini. Bagaimana ada kemiripan gak? “ Alif menunjuk struktur asam urat sebagai perbandingan dengan purin.

“Oh iya ini ada kemiripan antara purin dengan asam urat dok. Bedanya asam urat ada kayak batang keluar, ada tulisan O nya.“ Yoga menjawab. Kedua alisnya mengeryit tajam, hingga hampir bertemu kedua ujungnya, demi memandangi perbedaan struktur kimia purin dan asam urat.

“Persis! Itu menjawab pertanyaan asam urat itu purin yang terbakar oksigen. “ Jelas Alif.

“Sekarang, ini struktur Allopurinol, obat medis penurun kandungan purin berlebih dalam tubuh, sekaligus peluruh asam urat yang membandel pada persendian. Gimana, ada kemiripan? “ Alif menunjuk gambar struktur Allopurinol.

“Oh iya… Ini, ini ada kemiripan dengan purin. Cuman beda dikit sama struktur asam urat, Pak Dokter.“ Pratiwi mencoba menyimak kemiripan struktur Allopurinol dengan purin dan asam urat.

“Persis! Disini kita mulai membahas hal yang menarik.“ Tutur Alif sambil menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang didudukinya. Gestur Alif diikuti oleh Yoga dan Pratiwi, yang mundur dari meja kerja Alif, lalu ikut bersandar di sandaran kursi mereka masing-masing.

Gestur yang Yoga dan Pratiwi yang mengikuti Alif, menandakan bahwa pasangan suami istri itu telah sangat terpengaruh oleh argumen Alif. Keduanya telah terhipnosis.

***

Beruntung Yoga dan Pratiwi pagi itu. Klinik masih sepi belum banyak pasien berkunjung untuk dilakukan diagnosa atas keluhannya dan mendapat konsultasi medis serta resep pengobatan.

Konsultasi dengan Alif yang mampu meraih gelar sarjana medik dan sarjana kimia ini, bisa dilakukan bagi Yoga dan Pratiwi dengan leluasa.

“Jadi Pak Yoga, Bu Tiwi, ada prinsip kimia, namanya Like Dissolves Like. Artinya yang mirip bakal melarutkan yang mirip.“

“Air dengan air, sama-sama mirip, bakal saling melarutkan.“

“Air dengan alkohol, sama-sama mirip, juga bakal saling melarutkan.“ Lanjut Alif memberi penjelasan. Posisi duduknya mendekat tempat duduk, kedua siku lengannya menumpu, kedua telapak tangannya dilipat menyangga dagunya.

Yoga dan Pratiwi yang duduk di hadapan Alif, tanpa sadar ikut mendekati meja kerja Alif. Keduanya masih terhipnosis.

“Lalu, air dan minyak yang sama sekali tak mirip, bakal tak saling melarutkan. Melainkan minyak bakal larut sama minyak, karena saling mirip.“ Imbuh Alif.

Yoga dan Pratiwi masih terdiam. Benak mereka asyik mencoba mencerna makna yang terungkap kata-kata.

“Sekarang, tadi kita sepakat, bahwa antara purin, asam urat, Allopurinol itu semua punya kemiripan. Setuju?“ Alif membuka lagi ruang benak Yoga dan Pratiwi, yang keduanya hanya mengangguk pelan.

So, ketiga senyawa kimiawi itu bisa saling melarutkan. Setuju?“

“Iya…“ Suara Yoga terdengar serak.

Ehem, ehem…“ Yoga berdehem membersihkan kerongkongannya yang terasa kering, akibat benaknya berputar cepat mengurai makna kata-kata Alif.

“Iya. “ Suara Yoga terdengar jelas, telah hilang serak, siap lagi dia memutar benak.

“Jadi, dalam hal penyembuhan, maka Allopurinol bakal melarutkan struktur mirip purin yang terdapat dalam asam urat.“ Alif menyimpulkan peran Allopurinol.

Mmmm… Bagaimana Pak Dokter? Tadi kecepetan…“ Pratiwi minta Alif mengulang kesimpulan. Dirasakannya, benaknya telah menghangat akibat berputar terlampau cepat mengungkap makna kata-kata. Namun, ia bertekad sembuh.

“Begini, Allopurinol bakal melarutkan purin yang menjadi bagian dalam asam urat, sehingga asam urat itu luruh. Anda pun bisa sembuh.“ Lagi, Alif memperjelas kesimpulan. Mundur lagi dia. Punggungnya kembali tersandar di sandaran kursi tempat duduknya.

Pratiwi dan Yoga lantas mengikuti gerak tubuh Alif. Pengetahuan baru ini telah benar-benar membuat keduanya terhipnosis habis.

***

“Jadi, penyebab naiknya purin dalam tubuh istri saya itu apa, dok?“ Tanya Yoga, setelah dia menatap Pratiwi.

Menghela nafas dalam Alif.

“Ya, asam urat itu penyebab gout. Anda berdua tahu apa itu gout?“

Yoga dan Pratiwi terdiam.

Gout itu encok.“

Ooo…“ Suara Pratiwi dan Yoga terdengar bersamaan.

“Penyebab encok, itu dari asupan makanan dan minuman yang punya OR tinggi. Anda tahu OR singkatan apa? “

Lagi, Yoga dan Pratiwi terdiam.

OR itu singkatan Odds Ratio.“

Oooo…“ Lagi, suara Pratiwi dan Yoga terdengar bersamaan.

Eh, OR yang bagaimana penyebab encok, Pak Dokter.“ Segera Pratiwi bertanya. Ia sungkan sudah dua kali bilang “Oooo…“ bareng suami.

“Tepat! Nilai OR tinggi itu penyebab encok. Sebaliknya, meluruh asam urat.“

“Apa saja OR tinggi dok?“ Sergah Yoga.

“Minuman beralkohol, fruktosa sirup, keduanya punya nilai OR tertinggi.“

“Fruktosa sirup bagaimana Pak Dokter?“ Tanya Pratiwi, menebak-nebak penyebab asam urat yang mendekam di lutut kanannya.

“Ya, fruktosa sirup itu HFS, High Fructose Syrop. Pemanis alami buat sirup-sirup minuman itu. Bukan fruktosa yang terkandung dalam buah-buahan segar.“ Benar memang, Alif sama sekali tak pelit ilmu. Juga koleganya yang bekerja dalam klinik keluarga ini.

“Ibu Tiwi tak minum alkohol kan?“

“Tidak pernah, Pak Dokter.“

“Kalo sirup minuman rasa buah gitu?“

“Ya minuman itu saya memang suka Pak Dokter, apalagi pas nemenin anak-anak atau pas suguhan arisan ketemu teman-teman.“ Pratiwi menunduk, menyadari biang lutut kanannya linu kaku.

“Kalo OR rendah, dok?“ Sela Yoga mencoba menutupi rasa bersalah Pratiwi.

OR rendah itu ya kopi, buah, sayuran termasuk lalapan.“

“Jadi? Kopi bisa nurunin asam urat, dok?“ Tanya Yoga, rona wajah dan nada suaranya berubah riang.

“Ya, iya…Lha ini struktur kafein, mirip purin. Jadi, kafein bisa meluruhkan purin, menguranginya dalam tubuh.“ Kembali Alif meraih kitab tebal Farmakope mencari-cari struktur kafein yang memang mirip purin.

Yes!“ Girang Yoga, mengepal telapak kanannya. Ia memang penikmat kopi.

“Sayuran, lalapan karena juga struktur kimianya mirip purin ya dok?“

Alif hanya mengangguk.

“Ma, kita kurangi saja sekarang minum sirupnya. Ternyata itu biang asam uratnya.“ Yoga meraih telapak tangan Pratiwi, membesarkan hatinya. Dalam benak Pratiwi memang, asam urat begitu berbahaya dan menyiksa. Terlambat penanganan dan merubah pilihan makanan pun minuman, asam urat bisa lebih menyebar, menyasar persendian dan organ ginjal.

Exercise, olah raga rutin juga perlu ya Pak Yoga, Bu Tiwi. Lebih pada melatih persendian tetap lentur juga membantu ginjal, mengolah toksin sebagai keluaran keringat. Asal porsi olah raganya disesuaikan kemampuan. Bisa nanti kalo minat saya rekomendasi ke teman saya, yang bisa konsultasi takaran olah raga dan diet.“

“Baik dok, siap…“ Yoga tersenyum lebar, lega telah mendapat pencerahan. Telapak tangannya masih merengkuh tangan Pratiwi. Berharap kehangatan jari jemarinya menyumbang asa tersendiri.

“Kalo gitu ini saya kasih resep, bisa ditebus di apotik nanti ya.“ Alif mengambil pena Parker, menggurat tulisan di atas secarik kertas resep resmi. Tulisannya nampak tak jelas, tampak hanya sebagai coretan-coretan, yang hanya apoteker mampu menerjemahkannya.

“Ada Allopurinol tentunya dok?“ Iseng Yoga bertanya.

Hmmm… Ya, generik seperti biasanya.“

“Oh iya ini nanti saya kirim WA artikel jurnal penelitian kimia medis tentang OR. Bisa dibaca-baca, buat nambah wawasan. Bahasa Inggris ga papa ya Pak?“

“Siap dok, nanti saya bisa ketemuan sama dokter lagi gapapa ya, buat nanya-nanya isi jurnal.“ Tukas Yoga pede. Level bahasa Inggrisnya memang di atas intermediate.

“Iya silakan. Anda ketemu saya pas sehat, malah seneng saya. Ha ha..“

Pratiwi dan Yoga pamit, meninggalkan ruang kerja Alif. Beberapa orang pasien telah datang di ruang tunggu. Mereka bakal tak hanya mendapat layanan medis, namun juga tambahan wawasan terutama kesehatan, pun ilmu pengetahuan.

Ting!“ Terdengar nada panggil telepon pintar Yoga. Diraihnya telepon pintar itu dari dalam tas genggamnya. Terbuka pesan dari Alif, berisi dokumen format pdf berjudul  ‘Dietary factors and risk of gout and hyperuricemia; a meta-analysis and systemic review.’

Yoga memandang Pratiwi. Tak bakal ia membaca pesan berisi tambahan wawasan ini. Nanti saja! Yoga telah begitu larut dengan Pratiwi. Wanita satu ini ia genggam erat jemari tangannya, memberi harapan padanya, selayaknya apa yang telah diberikan oleh ilmu pengetahuan.

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Balada Si Cangkem Asbak