Quo Vadis Keguruan dan Ilmu Pendidikan?

Banyak orang Indonesia mengenang setiap tanggal 2 Mei adalah hari Pendidikan Indonesia, guna menghormati hari lahir sosok Ki Hadjar Dewantoro dengan wadah pendidikan bernama Taman Siswa, sebagai tokoh penyemangat dan inspirator model pengembangan pendidikan nasional.

Pemandangan halaman depan perguruan Taman Siswa pada awal-awal tahun berdirinya.
Foto sumber - bobo.grid.id, 2 Mei 2017.

Sementara, belum banyak yang mengetahui, bahwasanya tiap tanggal 25 Nopember adalah hari Guru nasional, mengikuti sejarah penetapan tanggal tersebut sebagai hari Guru nasional sejak tahun 1994 oleh presiden Republik Indonesia waktu itu, Bapak HM Soeharto, yang mengacu daripada berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia pada 25 Nopember 1945, tepat 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

…prestisius dan disegani bagi kalangan akademisi pendidikan tinggi…

Perguruan Tinggi IKIP Pernah Menggurat Reputasi

Guru, berupa kata dari bahasa Sansekerta, yang kurang lebih bermakna mencerahkan. Atau, dalam bahasa Jawa, kata Guru bisa diperpanjang menjadi digugu lan ditiru, dipatuhi dan diteladani.

Dalam perjalanan pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, maka pada awal 1960-an, Sekolah Pendidikan Guru pun mengalami inovasi dan pembaharuan, dengan menambah unsur-unsur sistem pendidikan tinggi dalam suatu lembaga khusus yang mencakup keguruan dan ilmu pendidikan. Lembaga khusus tersebut, selanjutnya bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, atau lebih dikenal; IKIP.

Sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi yang berstatus negeri, yang pengelolaannya mendapat subsidi pemerintah, maka IKIP negeri yang pertamakali ada di Jakarta, kemudian menyebar di kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang dinilai sebagai barometer kota-kota pendidikan.

Seperti, IKIP negeri di Bandung, IKIP negeri di Medan, IKIP negeri di Padang, IKIP negeri di Jogjakarta, IKIP negeri di Semarang IKIP negeri di Surabaya, IKIP negeri di Malang, IKIP negeri di Singaraja, IKIP negeri di Ujung Pandang, IKIP negeri di Gorontalo.

Itu belum beberapa IKIP yang dikelola secara swasta, seperti IKIP Muhammadiyah di beberapa kota yakni; Jakarta, Jogjakarta, Purwokerto, Purworejo. Lalu ada IKIP Sananta Dharma Jogjakarta, IKIP PGRI Madiun dan IKIP PGRI Tuban.

Patut diakui, bahwa reputasi IKIP pada kisaran tahun 1960-an hingga 1980-an itu prestisius dan disegani bagi kalangan akademisi pendidikan tinggi. Bahkan, sempat menjadi model sistem pendidikan mengajar dan belajar pada tingkatan dasar hingga menengah, bagi negara-negara di kawasan asia dan afrika, khususnya di kawasan asia tenggara.

Proyek-proyek sekolah menengah macam Sekolah Menengah Atas Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (SMA PPSP) dan sekolah-sekolah menengah yang menjalankan sistem Sekolah Laboratorium (Labschool) menjadi riset pengembangan IKIP untuk menginovasi penataan kurikulum dan proses belajar-mengajar, hingga kelak menjadi model sistem pendidikan dasar menengah nasional.

…berjudul Omar Bakri pun, muncul pada masa-masa jaya orde baru…

Tergilas oleh Pamor Pembangunan Fisik dan Materi

Sayangnya, hingga tahun 1990-an, pelan namun pasti pamor IKIP sebagai perguruan tinggi pencetak para Guru meredup, lalu bubar. Sejalan dengan kebijakan pemerintah era orde baru yang mengutamakan program-program pembangunan pada segala bidang, yang seringkali termaknai sebagai pembangunan pada sektor fisik semata.

Pada masa pemerintahan orde baru, pelan namun pasti, profesi Guru kurang diminati bagi generasi muda. Karena, selain cara pandang masyarakat secara tak langsung diajak larut dalam hiruk pikuk pembangunan fisik secara nasional, juga dalam keseharian, maka  anak-anak kecil  waktu itu ketika ditanya oleh orang tuanya kelak bakal menjadi dokter atau insiyur. Hampir tak ada orang tua punya cita-cita anak sebagai Guru, apalagi sebagai ilmuwan.

Bahkan, lagu yang menyuarakan nasib Guru karangan musisi dan penyanyi Iwan Fals yang berjudul Omar Bakri pun, muncul pada masa-masa jaya orde baru, yakni tahun 1980.

Hingga pada akhir 1990-an, pasca Reformasi, semua IKIP berganti status menjadi Universitas Negeri, yang ironisnya malah berkonsep tak jelas.

Bagaimana tidak? Dari yang tadinya, sistem pembelajaran dan pengembangan ranah keguruan dan ilmu pendidikan di Indonesia dikemas dalam suatu lembaga khusus yang oleh karenanya bernama Institut, lalu berubah menjadi Universitas.

Tatanan belajar dan mengajar, termasuk interaksi antar mahasiswa pada perguruan tinggi yang berstatus Institut, berbeda dengan Universitas.

…ciri lulusan Universitas biasanya grambyang…

Universitas Grambyang, Institut Fokus

Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, berarti cakupan mata kuliah yang diajarkan berorientasi pada bagaimana mengelola proses belajar dan mengajar, khususnya bagi siswa tingkatan dasar hingga menengah.

Demikian halnya dengan Institut lainnya yang secara khusus mengelola kurikulum sesuai dengan nama lembaga pendidikan tersebut. Institut Teknik, berorientasi pada proses alih ilmu pengetahuan bidang terkait sains dan lingkup keteknikan. Institut Pertanian, pada bidang terkait sains dan lingkup pertanian. Institut Seni, pada bidang kesenian. Institut Perbankan, pada bidang terkait pengelolaan bank dan meraih keuntungan pada proses simpan pinjam.

Adapun skala interaksi antar mahasiswa, antar disiplin ilmu, dalam perguruan tinggi berstatus Institut, lebih sempit namun fokus. Mereka dalam satu kampus bakal bertemu, berinteraksi bersama kolega mereka yang dalam kesehariannya mengembara ilmu pengetahuan yang mirip bahkan sama, yakni lingkup keteknikan, lingkup pertanian, lingkup keuangan ataupun lingkup kesenian.

Sedangkan perguruan tinggi berstatus Universitas kesempatan berinteraksi antar mahasiswa dengan berbagai disipin ilmu yang menyertakannya bakal lebih luas.

Mahasiswa ilmu hukum bisa berinteraksi dengan mahasiswa ilmu teknik nuklir, misalnya. Mahasiswa kedokteran interaksi sama mahasiswa peternakan, misalnya. Mahasiswa ekonomi akuntansi berinteraksi dengan mahasiswa fisika, misalnya dan lain sebagainya.

Lalu, sebagai satu hasil interaksi selama mengembara ilmu, maka ciri lulusan Universitas biasanya grambyang. Ketika menjadi alumnus lalu menjadi pengambil keputusan dalam suatu lembaga tempatnya bekerja, cenderung suka memicu adanya perubahan. Kemudian tiba-tiba ditinggalkan, membiarkan perubahan itu berjalan dengan sendirinya.

Lebih berkarakter yang berkesan gak tuntas, meski mendasar.

Contoh karakter lulusan Universitas yang demikian itu terwakili dari tipikal lulusan Harvard University. Satu perguruan tinggi papan atas di Amerika Serikat yang bisa menjadi cermin karakter lulusan Universitas.

Berbeda dengan lulusan Massachusetts Institute of Technology,  MIT, satu perguruan tinggi papan atas di Amreika Serikat yang berstatus Institut, yang bisa menjadi verminan karakter lulusan Institut yang fokus pada pengembangan bidang sains dan teknologi, ataupun bidang yang menjadi pengkhususan Institut tersebut.

…istilah 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', itu semacam pelecehan halus terhadap profesi Guru…

Tak Hanya Mendidik, Guru Membangun Karakter

Nah, di Indonesia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan diganti Universitas Negeri, yang ditambah nama kota di mana perguruan tinggi itu berada.

Buyarnya itu pada penataan format Institut menjadi Universitas. Kelak, Guru yang menjadi lulusannya bisa bertipikal grambyang, sebagaimana lulusan pola pendidikan dan interaksi dalam Universitas.

Sementara, Indonesia butuh pendidikan karakter sebagai bangsa. Peran Guru yang gak grambyang, sangatlah dibutuhkan.

Parahnya lagi, sudah ada doktrin nasional bahwa Guru itu bukan profesi melainkan kerja bakti, melalui lagu nasional, hymne Guru.

'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa' demikian ungkap satu kalimat dalam syair liriknya. Menanamkan mindset yang keliru parah, sebenarnya. Itu lagu, sejatinya menurunkan moral semangat berprofesi sebagai Guru.

Guru itu profesional, gak ada istilah 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa'. Istilah yang demikian itu semacam pelecehan halus terhadap profesi Guru, yang sejatinya dituntut profesional memenuhi kaidah kompetensi Guru, meliputi ilmu pengetahuan, perilaku dan kemampuan.

Padahal sekarang, profesi Guru sebagai pendidik, pembangun karakter, itu sangatlah dibutuhkan.

Sebagai contoh nyata saat ini, dengan tuntutan agar beradaptasi pada revolusi industri 4.0, banyak perusahaan besar membutuhkan orang-orang yang punya kompetensi sebagai pengembang karakter. Sementara ini, kebutuhan tersebut cenderung dipasrahkan ke orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan Psikologi.

Psikologi itu ilmu pengetahuan yang sangat-sangat susah, karena mempelajari perilaku manusia. Bagaimana bisa? Sementara perilaku manusia itu sangat rentan perubahan, sejalan dengan kehadiran Sang Maha Pembolak-balik hati.

Memberi konsultasi psikologis dalam tatanan layanan kepada pelanggan, klien, secara personal dan rahasia, itu ranah Psikolog. Namun, apabila harus mengelola suatu program besar yang bersifat praktis dalam hal mengedukasi character building, harus menggunakan metode dengan acuan ilmu pengetahuan yang lebih jelas dan praktis.

Jadi, membangun karakter itu bagian utama dari ranah profesi seorang Guru, dengan kompetensi yang mampu mengupayakan teraihnya program-program membangun karakter dengan lebih terukur.

Oleh karenanya, sistem pencetak sosok yang berbakat membangun karakter, juga perlu diperbaiki. Fokus menjadi sebuah institusi, yang membangkitkan dan menginovasi lagi sistem belajar dan mengajar, sebagai perguruan tinggi yang mewadahi lingkup ilmu Keguruan dan ilmu Pendidikan, IKIP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Balada Si Cangkem Asbak