Milyaran Kenangan Dalam Sebidang Kawasan

...membela kebenaran menuntut keadilan, eh jabang bayik...

Perjalanan Menggurat Kenangan

Kawasan populer di kawasan Jakarta Selatan yang saya pertama mengunjunginya 30-an tahun lalu, sekarang tampak sepi, rapi, tenang.

Blok M pada masa jayanya menjadi area transit warga Ibu Kota maupun warga urban, pendatang, untuk melanjutkan perjalanannya menuju tujuan menggunakan sarana bus sebagai angkutan umum, dengan bermacam kode perlintasan yang terdiri dari huruf dan angka.

Bus Kopaja warna putih hijau kode S-605 misalnya, berarti punya lintasan Blok M - Kampung Rambutan, kode S-605 A dengan lintasan Blok M - Ragunan.

Kedua Kopaja dengan kode 605 itu , punya lintasan melewati kawasan elit Kemang tempat tinggal banyak bule, warga negara asing, yang daerahnya berupa dataran rendah, yang sering kebanjiran bila musim hujan tiba. Menjadi tantangan tersendiri bagi bus Kopaja 605 beserta awak dan para penumpangnya apabila hujan tiba, banjir di wilayah itu, bisa ada jeda waktu yang cukup lama karena lintasan menjadi macet.

Pernah dulu saya naik Kopaja S-605 dari daerah Cilandak menuju Haji Nawi, butuh waktu 4 jam. Berdiri pula dalam Kopaja, soalnya macet setelah hujan deras. Jarak yang hanya sekian kilometeran yang tertempuh selama 4 jam-an itu, lalu bersensasi bagai perjalanan travel dari Malang ke Madiun via Batu.

Tapi paling keren idola saya itu Kopaja P-19 lintasan Ragunan - Blok M - Tanah Abang. Karena, selain bus kode lintasan ini selalu tampak rapi luar dalam dan lintasannya luas mulai pusat belanja grosis Tanah Abang, tempat mejeng Blok M dan tempat kunjungan silaturahmi sama primata yang mirip manusia di dalam bonbin Ragunan sana. Juga, karena kodenya keren, yakni; P-19.

Dulu, saya kalo ditanya mau naik angkutan apa, saya bilang; “The Passenger Nineteen...

“Kopaja apa’an tu? Bule banget?” Tanya balik temen saya.

“Lha iya P-19....” Tukas saya mantab.

Adapun bus Metromini yang berukuran sama dengan Kopaja, sama-sama punya kapasitas kursi untuk 25 penumpang, yang kalo orang setinggi saya duduk, dengkul mentok bagian belakang tempat duduk, posisi ketekuk kayak beryoga, maka idola saya adalah S-640.

Karena, naik Metromini S-640 bisa menikmati perjalanan melintasi kawasan keren Jakarta pusat yakni bilangan Komdak, Sudirman dan Thamrin sekalian ke kawasan Sabang, urusan kaset sama CD lagu-lagu di lapak Duta Suara.

Pernah suatu siang terik di bilangan Komdak saya protes teriak ke abang sopir sama kenek S-640, juga saya minta semua penumpang agar tak sudi turun ganti bus metromini yang berhenti di depan.

Saya sudah siap apapun yang bakal terjadi. Anehnya, abang sopirnya mlengosin saya, sama kenek juga turun dari bus. Aneh lagi, semua penumpang pria juga ikut turun, sementara penumpang wanita tetap duduk dalam bus.

Saya curiga ada apa? Saya pun ikutan turun.

Oh! Ternyata bus S-640 ini mogok. Jadilah kami, saya, penumpang pria dan kenek dorong-dorong bus S-640 ini siang terik di kawasan strategis Jakarta.

Untung waktu itu saya kenakan masker hidung karena habis operasi sinusitis tahun 2008 awal. Jadi sopir, kenek dan semua penumpang gak kenal wajah saya. Tiwas saya sudah sok marah-marah membela kebenaran menuntut keadilan, eh jabang bayik, ternyata busnya yang mogok.

Oh, adalagi Metromini S-76 lintasan Blok M - Pasar Minggu. Jarang liwat namun terhitung sepi dan sering saya dapat tempat duduk.

Di dalam Metromini S-76 ini, saya pernah kenalan sama mahasiswi kimia, pas dia sedang baca diktat kuliah. Gayung bersambut, setelah kami berkenalan, lalu kami pun diskusi tentang kimia organik di dalam bus Metromini S-76.

Manis anaknya. Tinggi, putih, rambut ekor kuda, kenakan celana jeans. Hampir tiap hari kami berjumpa, saya berangkat kerja dia mau kuliah. Dia logatnya Jakartaan. Sementara saya? Logat saya masih bingung kapan bilang dong, kapan bilang deh.

Mau saya lanjut lebih kenal dia lagi, saya sudah mengikat janji. Ya ndak papa, bisa kenalan sama anak Jakarta yang periang ramah, saya sudah senang. Kalo sekarang ketemu lagi gitu, paling rambut ekor kudanya sudah tersembunyi di balik hijab.

...bergerak lagi menunjukkan waktu dengan tepat dan teliti...

Memperbaiki Simbol Waktu

Sekarang, Blok M sudah sepi mamring. Bus yang masuk keluar terminal adalah bus-bus TransJakarta.

Juga pusat perbelanjaan di bawah terminal Blok M tak seramai dulu lagi. Jalan-jalan beraspal di kawasan Blok M Square yang dulu penuh pedagang kaki lima juga sekarang murni untuk jalan kendaraan dan tempat parkir.

Gak jauh dari kawasan Blok M adalah stasiun MRT, sebuah moda kereta lintas layang dan bawah tanah, khususnya yang melayani para pekerja kantoran wilayah poros Lebak Bulus - Bundaran HI.

Suasana Blok M akhir pekan Maret 2024

Pagi ini saya bertandang ke kawasan Blok M, mengambil pesanan servis jam dinding lawas tahun 1980-an peninggalan orang tua saya. Jam dinding itu seminggu yang lalu saya minta diperbaiki, setelah jarumnya tak bergerak lagi sejak 10-an tahun lalu, di lapak resmi merk Seiko-Alba dekat Blok M Square.

“Ini jam dinding langka mas, mesin masih ori dari Jepang...” Bilang seorang bapak yang menangani perbaikan mesin jam dinding ini. Saya dipanggil mas, Alhamdulillah berarti saya masih terlihat imut.

Puas saya dengan layanan lapak resmi merk jam asal Jepang ini. Jam dinding peninggalan orang tua saya, jarumnya bergerak lagi menunjukkan waktu dengan tepat dan teliti.

Jam dinding Seiko lawas dikontinyu peninggalan orang tua. Jarum detiknya berdetak setelah 10-an tahun berhenti.

Hendak pulang saya pun mencuci mata melihat-lihat isi lapak lapak Seiko-Alba ini, yang berisi hamparan arloji beragam jenis dan model dengan kisaran harga tertentu mulai menengah ke bawah hingga yang harganya saya pikir angka nol-nya kebanyakan.

Pemandangan lapak arloji di toko resmi Seiko -Alba Blok M
 
Pemandangan lapak arloji di toko resmi Seiko -Alba Blok M

Saya hanya melihat-lihat arloji saja. Lebih memaknai betapa sang waktu begitu bermakna, yang bahkan Dia pun bersumpah atasnya; “Demi waktu...”

Keluar dari lapak merk arloji yang dikenakan oleh si agen rahasia Inggris berkode 007, James Bond era Sir Roger Moore ini, saya merasa lapar. Seisi penghuni perut saya kompak melantunkan irama keroncong. Kali ini keroncong yang vokalisnya nge-rap. Saking laparnya saya.

Tak jauh arah sebelah kiri dari pintu keluar lapak Seiko itu, tiba-tiba mata saya tertuju pada tulisan '-Mie'. Ya, tulisan Bakmie Afan, Halal ayam kampung, begitu tulisan selengkapnya menghiasi sebuah kedai dalam toko mungil sekira ukuran 3x2 meter persegi.

Saya berhenti, lalu laksana anggota paskibra ikuti perintah; "Hadap kiri Grak!", lanjut "Ambil kursii, Grak!", terus "Duduuk Grak!", habis itu "Pesenooo grak...", gak pake tanda seru kali ini.

Kedai Bakmie Afan tampak dari dalam

Bakmie Lurus, Bakmie Karet, Bakso Goreng dan Kulit Pangsit Goreng, demikian menu yang tertulis, berhias sebuah lemari pendingin berpintu kaca yang memperlihatkan isi di dalamnya adalah botol-botol air mineral, dingin tentunya.

Saya pilih bakmie karet. Karena suasana sama cuaca sangat mendukung. Suasana Blok M yang total Jakartaan, cocoknya memang mie karet, yang teksturnya kenyal khas bakmie ala Jakarta.

Lalu, cuaca mendung dan adem sehabis hujan, cocok diimbangi dengan sesendok demi sesendok kuah panas ayam kampung pendamping bakmie karet itu tadi.

Klop!

... tubuh mengeluarkan hormon pembahagia, lega...

Terjebak Bakmie Karet

Sambil melihat mas-mas koki rapi kenakan kain celemek pelindung pakaian khas koki, dia seorang diri memasak sekaligus melayani.

"Sudah berapa lama mas?" Saya mencoba menyapa, saat dia menimbang berat mie karet yang saya pesan. Kudu pas takaran berat mie untuk setiap mangkoknya ternyata.

"Baru sebulanan ini pak. Belum ada cabang juga, kita ini masih cari-cari pelanggan..." Jelas mas-mas koki ini dengan logat Jawa Barat yang kental. Dia pun bilang belum ada cabang, suatu ungkapan tekad, cita-cita agar kelak usaha bakmie ayam kampung yang dirintisnya bakal berkembang.

Semangkok bakmi karet bersanding semangkok kecil kuah kaldu ayam kampung dan irisan bakso goreng telah siap dihadapan saya. Melodi keroncong berpadu irama rap yang tadi meriah terasa di dalam perut saya pun berganti menjadi berirama slow, tenang, syahdu. Pertanda segera terisi.

Aroma khas kaldu ayam kampung, berpadu dengan cita rasa flat, datar khas olahan bakmie ayam format Jakartaan ditambah sensasi kenyal mie karet serta gurih adonan ayam cacah sebagai topping, membuat pikiran sontak memerintahkan tubuh mengeluarkan hormon pembahagia, lega.

Tak hanya itu, rupanya  irisan bakso goreng yang dituangi saos khusus yang terasa asam manis pedas, menyempurnakan cita rasa bakmie ayam Afan ini dalam kesatuan kerjasama tim yang kompak, solid.

Seporsi Bakmie karet ayam dan bakso goreng olahan Bakmie Afan Blok M

Cita rasa yang pas, tiada sensasi kelebihan penguat rasa. Bahkan mungkin tiada tambahan penguat rasa. Tadi saya lupa nggak nanya.

Eh, tapi kan itu bisa jadi alasan buat ke Blok M lagi nanti.

"Mau ke mana?..."

"Ke Jakarta..."

"Di mana?"

"Blok M..."

"Ngapain?..."

"Nanya bakmie ayamnya pake micin apa gak.."

"Ya udah saya mau ikut nanya."

... sebagai tontonan bersama dalam layar lebar super raksasa...

Tersimpan Dalam Memori Alam Semesta

Tentu, bagi orang yang terbiasa dengan cita rasa mie ayam format poros Wonogiri-Solo-Comal, Jateng, tentu mie ayam Jakartaan ini bakal terasa hambar, karena cita rasanya yang datar lebih mengandalkan cita rasa kaldu pun daging ayam kampung, dalam skala yang moderat, tak terlalu nendang.

Mirip olahan Cwimie khas Malang, hanya lebih datar lagi cita rasanya, karena sensasi penguat rasa yang minim.

Ya, setiap olahan mie ayam punya perbedaan dan ciri khas yang bakal punya segmen pasar masing-masing, karena lebih berorientasi pada selera. Suatu perbedaan karena proses perjalanan panjang menjadi suatu keunikan, yang kudu dihargai.

Puas saya, olahan bakmie karet ayam kampung olahan Afan yang baru buka sebulanan ini, telah menyempurnakan perjalanan saya di bilangan Blok M, hari ini.

Saya pun menyemangati mas koki bakmie ayam ini agar tekun dan mempertahankan cita rasa khas olahan mie ayam ala Jakarta-an, bukan bawaan pendatang. Biarkan nanti penggemar yang bakal memilih selera, pada berdatangan.

Tadinya hari ini saya hendak latihan puasa pun menjadi tertunda. Kiranya besok masih ada waktu latihan berpuasa sebelum bulan puasa tiba. Semoga tiada bakmie ayam lagi yang menggoda. 

Hawa cuaca masih terasa sejuk selepas hujan. Saya pun melangkah menyusuri jalan di area Blok M yang terasa lengang, menuju pulang. 

Blok M memang telah lengang. Namun, terdapat jutaan kisah terkenang.

Kelak, bakal terbuka setiap kenangan di kawasan ini, dari dalam diska eksternal trilyunan mega bita, sebagai tontonan bersama dalam layar lebar super raksasa, yang salah satunya berupa gambar hidup kisah pria paruh baya bernama anton pernah memanggul tas ransel berisi jam dinding peninggalan Ibunya, sambil memotret-motret hidangan sebelum menyumpit bakmie karet ayam kampung yang ia pesan.

Lalu, dalam film dalam layar ukuran raksasa itu, bisa jadi Anda ikut tampil. Karena, suatu saat lampau Anda pernah berada di kawasan Blok M.

Telaga Asih, 10 Maret 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sugeng Tindak Pak Yahya

Balada Si Cangkem Asbak